Rabu, 22 Agustus 2007

TAFSIR TEMATIK TENTANG IBADAH QURBAN

Oleh : KH. Shohibul Faroji Al-Robbani
A. Ibadah Qurban dalam Pemahaman Tauhid
Pesan paling substansial dalam ibadah qurban adalah perintah untuk menegakkan tauhid sebagai fondasi utama dalam beragama. Konsekuensi logis dari kalimat “la ilaha illa Allah” adalah penegasan terhadap segala bentuk penyembahan, pengabdian dan perbudakan mental selain kepada Allah.Dengan mengatakan “tidak ada tuhan selain Allah”, seorang manusia-tauhid memutlakkan Allah Yang Maha Esa sebagai Khaliq atau Maha Pencipta, dan menisbikan selain-Nya. Dengan demikian, tauhid berarti komitmen manusia kepada Allah sebagai fokus dari seluruh rasa hormat, rasa syukur dan sebagai satu-satunya sumber nilai. Apa yang dikehendaki oleh Allah akan menjadi nilai (value) bagi manusia-tauhid, dan ia tidak akan mau menerima otoritas dan petunjuk, kecuali otoritas dan petunjuk Allah.

Nabi Ibrahim, melalui peristiwa pengurbanan ini, mengajarkan kepada kita sikap ber-tauhid yang sesungguhnya. Ia berhasil mengalahkan egonya. Ia mampu membebaskan dirinya dari penghambaan terhadap materi (kebendaan)--- berupa mencintai anaknya--- dengan kesediaan mengurbankan anaknya sendiri sebagai bukti ketaatannya kepada Allah Swt. Ia menyadari sepenuhnya bahwa “nilai tertinggi” bagi seorang hamba adalah kepasrahan serta kepatuhannya terhadap segala perintah dari Sang Pencipta.Ibadah qurban yang diperintahkan oleh Allah kepada kita adalah merupakan manifestasi dari salah satu sunnatullah yaitu The Law Of Detachment (Hukum Kemerdekaan/ melepaskan kemelekatan). Yaitu kemelakatan dari urusan dunia, berhala-berhala duniawi sekaligus kemerdekaan diri, jiwa, hati dan ruh untuk tauhid kepada Allah. Kemelekatan terhadap dunia akan menjadi hijab dan penghalang seseorang untuk dekat dan bertemu dengan Allah (liqo' Allah) Karena itu kemelekatan terhadap berhala-berhala dunia serta kemewahannya harus disembelih dalam rangka berkorban untuk Allah. Bukankah qurban berasal dari kata Qaraba-yaqrabu-Qurbaanan artinya mendekatkan hati, diri, jiwa dan ruh semata-mata kepada Allah.

Berbicara tentang pembebasan diri dari berhala-berhala (multiteisme/ syirik). Ali syari'ati menerangkan konsep berhala (idolisme) yang menjadi alat dan media untuk menyekutukan Tuhan. Berhala ini merupakan suatu bentuk khusus dari multiteisme (Syirik). Penyembahan berhala merupakan perbuatan syirik atau multiteisme. Multiteisme telah dikenal sebagai agama masyarakat awam sepanjang sejarah dan, pada satu fase, multiteisme termanifestasi dalam bentuk penyembahan berhala (idolisme). Jadi penyembahan berhala berarti membuat patung-patung atau benda-benda suci yang menurut para pengikutnya, yaitu pengikut agama multiteisme.Sebab itu, patung-patung tersebut sama dengan tuhan atau mereka percaya bahwa pada dasarnya patung itu adalah tuhan atau perantara atau wakil-wakil tuhan dan bagaimanapun mereka percaya bahwa masing-masing tuhan ini aktif atau berpengaruh dalam salah satu bagian kehidupan dan dunia. Jadi, penyembahan berhala merupakan satu bagian dari agama multiteisme.Dalam kitab suci Al-Qur'an, ketika mereka (orang-orang multiteis, penyembah berhala) dikecam atau ketika mereka diajak berdebat dan dikritik, diupayakan agar dialog-dialog dengan mereka dilakukan dalam term-term yang lebih umum dan melibatkan kalangan multiteis maupun para penyembah berhala. Mengapa, Agar penilaian yang kini muncul dalam benak, nantinya tidak terwujud. Kita mengetahui bahwa gerakan Islam bukan hanya menentang bentuk-bentuk penyembahan berhala yang ada tetapi lebih dari itu, kita mengetahui bahwa serangan Islam mengikuti gerakan-gerakan monoteistik masa lalu, merupakan serangan terhadap akar-akar agama multiteisme secara umum dan dalam bentuk apapun, termasuk bentuk penyembahan patung dan kita membayangkan bahwa kita harus mengetahui pihak oposisi (yaitu, agama multiteisme), ketika ia berbentuk penyembahan berhala, karena kitab Suci al-Qur'an mengatakan, "Apakah kamu menyembah apa-apa yang kamu buat sendiri?" (QS.37:95).

Apakah sepanjang sejarah dan di seluruh bentang wilayah geografis yang disembah hanyalah patung kayu dan batu yang dibuat dengan tangan-tangan kita sendiri? Tidak. Multiteisme sejak dulu dan sampai sekarang termanifestasi dalam ratusan bentuk fisik dan non fisik sebagai salah satu agama yang umum dalam sejarah kemanusiaan. Salah satu bentuknya pada masa sekarang, dalam semua masyarakat manusia, adalah penyembahan berhala dalam bentuk kebodohan."Apakah kamu menyembah sesuatu yang kamu buat sendiri?" merupakan suatu prinsip umum. Kalimat ini merupakan deskripsi tentang sikap penyembahan religius dalam agama multiteisme. Agama multiteisme ini bergerak maju, sepanjang sejarah, berdampingan dan setahap demi setahap, seiring dengan agama monoteisme dan terus bergerk maju dengannya. Hal ini, tidak pernah berhenti dengan kisah Ibrahim atau dengan munculnya Islam. Tetapi terus berlanjut.

Di era sekarang ini ternyata berhala-berhala tidak hanya berarti patung, arca, gambar. Tetapi masih ada berhala-berhala psikologis yag harus dihancurkan dari dirinya sendiri, karena hal itulah yang menghalangi keterikatan penuh seseorang dengan Tuhan. Apakah berhala-berhala psikologis ini? Bisa jadi berhala-berhala psikologis ini berbentuk jabatan, reputasi, posisi, profesi, kekayaan, tempat tinggal, taman, mobil, orang yang tercinta, keluarga, pengetahuan, gelar, kesenian, spiritualitas, baju, kemasyhuran, popularitas, partai, pengikut, tanda tangan, jiwa, masa muda, kecantikan, ketampanan, intelektual, idiologi, filsafat kita dan lain-lain?.

Tanda-tanda dari berhala-berhala Psikologis adalah apapun yang memperlemah anda diatas jalan keimanan dan kebenaran, apa saja yang mengajak anda berhenti untuk berbuat. Apa saja yan membawa keraguan terhadap tanggung jawab anda. Apa saja yang melekat pada anda dan menarik anda ke belakang. Apa saja yang telah anda susun dalam hati yang tidak membolehkan anda mendengar pesan supaya mengakui kebenaran. Apa saja yang menyebabkan anda lari. Apa saja yang membawa anda kepada justifikasi, legitimasi, hermenetik, mencari kompromi dan cinta yang membuat anda buta dan tuli maka itulah karakter dari berhala-berhala psikologis.Karena itu berqurban dalam paradigma Tauhid adalah membebaskan diri, hati, ruh dan jiwa dari kemelekatan terhadap sesuatu selain Allah.

B. Ibadah Qurban sebagai Pembebasan Humanistik,
Idul Qurban tidak hanya dimaknai sebagai wujud kepasrahan Nabi Ibrahim yang total kepada Tuhan. Keduanya juga mempunyai makna pembebasan manusia dan nilai-nilai kemanusiaan dari kesemena-menaan manusia atas lainnya. Ketika Tuhan mengganti Ismail dengan seekor domba, tersirat pesan yang ingin memaklumkan manusia agar tidak lagi menginjak-injak manusia lain dan harkat kemanusiaannya. Drama tersebut juga ingin menegaskan bahwa Tuhannya Ibrahim bukanlah Tuhan yang haus darah manusia. Dia adalah Tuhan yang ingin menyelamatkan dan membebaskan manusia dan harkat kemanusiaan itu sendiri dari tradisi yang tidak menghargai manusia dan kemanusiaan.

Makna Idul adha berarti kembali kepada hari raya qurban. Di dalam ritual idul adha itu terdapat apa yang biasa disebut udlhiyah, atau penyembelihan hewan qurban. Pada hari itu kita menyembelih hewan tertentu dalam rangka qurban. Qurban berasal dari bahasa Arab yang bermakna qurbah atau mendekatkan diri kepada Allah. Saya kira itu pengertian Idul Adha yang sangat sederhana.Idul Adha juga berarti merefleksi sejarah masa lampau. Intinya mengenang perjuangan monoteistik dan kemanusiaan yang pernah dilakukan oleh Nabi Ibrahim. Saya kira, seluruh ritual haji dan hari-hari berikutnya, tanggal 11, 12, dan 13 Dzulhijjah, mengandung makna-makna simbolik keagamaan, untuk keteladanan sebuah perjuangan kemanusiaan yang pernah diperankan Nabi Ibrahim. Jadi dalam konteks ini, mimpi Nabi Ibrahim untuk menyembelih anaknya, saya kira memang petunjuk Tuhan untuk mengejawantahkan sebuah perjuangan maha berat. Tapi saya ingin menyatakan bahwa, kesemua itu hanyalah pesan simbolik dari agama, bukan dalam artian kejadian yang hakiki.

Kalau kita memaknainya sebagai pesan simbolik, sesungguhnya peristiwa itu bukan sesuatu yang riil. Hanya saja, keyakinan kebanyakan umat Islam memang menegaskan bahwa kejadian itu riil terjadi pada masa yang lampau. Saya kira, agak sulit memasukkan peristiwa ayah yang rela hati (akan) menyembelih anaknya itu ke dalam akal pikiran kita, tanpa ditopang unsur keyakinan. Peristiwa itu memang agak sulit diterima oleh akal, kecuali kalau kita meletakkannya dalam kerangka keyakinan kepada Tuhan; Tuhan memerintahkan itu, sehingga itu mungkin terjadi. Drama penyembelihan Nabi Ismail itu dimaknai sebagai wujud kepasrahan total kepada Tuhan. Peristiwa itu bisa dimaknai sebagai pesan simbolik yang menunjukkan kepasrahan Nabi Ibrahim kepada Allah. Tapi penilaian yang lain mungkin bisa juga diungkapkan misalnya, apakah mungkin peristiwa penyembelihan itu dilakukan terhadap orang tertentu tanpa dilandasi kesalahan yang dia perbuat.

Jadi, peristiwa ini berbeda dengan kasus pembunuhan yang bisa dibenarkan, karena yang dibunuh melakukan kezaliman atas kemanusiaan. Itu yang sebetulnya ingin saya pahami. Tapi, saya kadang juga bisa merespon peristiwa itu sebagai simbol penyerahan diri yang total kepada Tuhan, sekalipun dalam bentuk tindakan penyembelihan terhadap sosok seorang anak yang dicintai. tafsiran tentang kepasrahan itu sebetulnya tidak berkesesuaian dengan watak agama Ibrahim yang tidak membenarkan pembunuhan tanpa dasar. Saya kira itu yang saya tangkap dari makna yang tersirat dari kisah Al-Qur’an itu.Saya setuju dengan pendapat Ali Syari’ati itu. Pengorbanan diri manusia dan harkat kemanusiaannya memang tidak dibenarkan oleh Tuhan. Sebab, Nabi Ibrahim sendiri tampil untuk menegakkan martabat kemanusiaan itu sendiri. Saya setuju dengan Ali Syariati ketika dia mengatakan bahwa Tuhannya Ibrahim itu bukan Tuhan yang haus akan darah manusia. Jadi, persepsi tentang Tuhan kemudian diralat, tidak sebagaimana tradisi masyarakat waktu itu, yang mengorbankan diri manusia untuk dipersembahkan dan diabdikan kepada Tuhan. Jadi, pesan ini juga dapat dibaca sebagai pesan untuk memutus tradisi membunuh manusia demi “kepentingan Tuhan”. Membunuh manusia hanya dibenarkan dalam kerangka kemaslahatan kemanusiaan yang lebih besar. Artinya, kita tidak dibenarkan mengorbankan manusia lainnya dengan dalih yang manipulatif, sekalipun dengan klaim demi kepentingan Tuhan. Sebetulnya Idul Adha juga mengandung semangat pembebasan bagi manusia dan nilai-nilai kemanusiaan. Lebih dari itu, saya ingin menegaskan dua hal penting yang terkandung di dalam Idul Adha. Pertama semangat ketauhidan, keesaan Tuhan yang tidak lagi mendiskriminasi antarmanusia atau membeda-bedakan satu dengan lain. Di dalam ketauhidan itu, juga terkandung pesan pembebasan manusia dari penindasan manusia lainnya atas nama apapun. Yang kedua, Idul Adha juga dapat diletakkan dalam kerangka penegakan nilai-nilai kemanusiaan, seperti penekanan solidaritas dan kesatuan kemanusiaan tanpa dilatarbelakangi kepentingan-kepentingan di luar pesan ketuhanan itu sendiri.Kalau mencermati peristiwa qurban dan haji, kita menemukan keterkaitan yang kuat antara tradisi Nabi Ibrahim dengan agama Islam. Nabi Ibrahim disebut-sebut sebagai bapak dari nabi-nabi yang membawa teologi tauhid atau keesaan Tuhan. Inti pesan inilah yang kemudian diwariskan Nabi Ibrahim kepada nabi-nabi sesudahnya, dan tetap menjadi corak agama-agama sesudahnya. Karena itu, agama-agama yang berafiliasi kepadanya sesungguhya memiliki akar yang sama, yaitu akar ketauhidan. Makanya, sebagian ritualnya yang tidak bertentangan dengan akar ketauhidan tetap dipelihara dan diikuti oleh umat-umat sesudah Nabi Ibrahim. Di dalam Al-Qur’an kita dianjurkan agar mengikuti agama Nabi Ibrahim yang hanif. Yaitu, anittabi’ millata ibraahim hanifan, hendaklah kamu mengikut agama Ibrahim yang lurus, atau tidak menyimpang. Selain disebut hanif, agama Ibrahim juga disebut agama yang penuh samaahah, atau agama yang penuh toleransi terhadap manusia lain.

C. Ibadah Qurban sebagai Ibadah Sosial,
Saya kira, di dalam khutbah-khutbah keagamaan, kita perlu menegaskan bahwa ritual-ritual keagamaan selalu mempunyai dua dimensi. Dimensi keyakinan atau keimanan kepada Tuhan, dan dimensi sosial-kemasyarakatan. Hal ini dikarenakan agama memang diperuntukkan bagi manusia dan untuk memperbaiki tatanan sosial kemanusiaan. Terkait dengan dimensi sosial, kita menyaksikan betapa sulitnya membangkitkan dimensi sosial menjadi sebuah ritual. Karena penyadaran akan dimensi sosial tersebut seperti peristiwa qurban ini, bersifat musiman saja. Saya kira kesulitan itu juga dilatarbelakangi sejarah yang sangat panjang, dimana risalah sosial-kemanusiaan Islam yang sebetulnya menjadi tujuan utama sebuah agama, tereduksi oleh ritualisme aspek ibadah kepada Tuhan. Seakan-akan agama hanya untuk kepentingan individu dengan Tuhan semata, terlepas dari kepentingan sosial-kemanusiaan yang umum. Saya menyebut kejanggalan seperti ini sebagai keberagamaan yang terlalu teosentris, atau menganggap bahwa hanya Tuhanlah ujung dari semua pengabdian kita, sembari mengabaikan faktor manusia. Pola keberagamaan seperti ini sangat terpusat kepada Tuhan, dan bersifat sangat personal. Saya kira, problem kemanusiaan jauh lebih penting untuk ditanggapi dan sangat besar nilainya di hadapan Allah.Saya tidak bisa memilah salah satu persoalan yang paling krusial yang kita hadapi saat ini, karena begitu kompleksnya persoalan yang kita hadapi. Tapi persoalan kita yang paling mendasar menurut saya adalah soal ketidakadilan antarmanusia. Kita melihat, kemiskinan lebih banyak dirasakan orang, sementara kekayaan hanya dicicipi segelintir orang. Maka dari itu, saya kira problem utama kita adalah problem menegakkan keadilan. Kalau problem itu yang kita pilih, maka relavansi Idul Adha kali ini adalah sebagai simbol keharusan untuk mewujudkan keadilan sosial di antara manusia. Terkait dengan itu, yang penting juga adalah problem kemiskinan yang kita alami. Makanya, yang perlu kita usahakan adalah bagaimana menegakkan keadilan dalam bidang-bidang ekonomi, sehingga kekayaan tidak menumpuk pada sekelompok orang saja.Saya kira, simbol Ibrahim dan Ismail memang sudah sangat sulit kita dapatkan lagi pada zaman sekarang. Simbol Ibrahim yang pasrah kepada Tuhan, demi mewujudkan nilai-nilai kemanusiaan sudah mulai memudar. Simbol Ismail yang pasrah kepada tuntutan-tuntutan ketuhanan juga langka saat ini. Sekarang, kita memang membutuhkan dua sosok simbol itu. Yaitu, bagaimana memaknai simbol Ibrahim sebagai perjuangan pembebasan kemanusiaan itu sendiri, dan bagaimana menjadikan Ismail sebagai simbol untuk bersama-sama menegakkan nilai-nilai ketuhanan di tengah-tengah masyarakat. Saya kira, kedua hal itu sangat kurang kita rasakan, karena pemahaman keagamaan mayoritas kita masih dalam frame kepentingan-kepentingan pribadi, tidak dalam frame kepentingan masyarakat secara luas.

D. Ibadah Qurban sebagai simbol Cinta Sejati,
Suatu ketika, Siti Sarah menyarankan suaminya untuk menikah lagi, mengingat usia mereka sudah cukup tua namun belum juga dikaruniai anak. Kemudian, menikahlah Nabiyullah Ibrahim dengan Siti Hajar, wanita sholihah yang dipilihkan Siti Sarah. Tak lama setelah itu Siti Hajar hamil, dan hamil pula Siti Sarah. Akhirnya saat-saat yang ditunggu-tunggu Ibrahim selama ini terwujud dengan lahirnya Ismail dari Siti Hajar. Namun, disaat kebahagiaan menyelimuti Ibrahim dan keluarga, Allah menguji iman hamba-Nya yang mukmin dengan sesuatu yang dicintainya, yaitu Ibrahim harus meninggalkan istri dan anak yang masih 'bayi merah' di tengah daerah yang sangat gersang, yaitu lembah Baka (lembah air mata). Di lembah tersebut tak ada sebatang pohon-pun yang tumbuh di sana serta tak ada air sebagai sumber kehidupan. Setiap orang yang ada di lembah tersebut pastilah akan menangis.

Dalam suatu riwayat, Siti Hajar bertanya kepada Ibrahim sampai tiga kali, perihal ditinggalkannya dia dan anaknya di lembah tersebut. Siti hajar berujar,"Wahai Suamiku, apakah yang Engkau lakukan ini perintah Allah".Nabi Ibrahim menjawab"Benar, ini adalah perintah Allah". Siti Hajar menjawab dengan tegas tanpa keraguan sedikitpun. "Kalau memang ini perintah Allah, tinggalkanlah kami . Karena Allah pasti akan menyelamatkan hamba-Nya dan tak akan menyengsarakannya". Kemudian berjalanlah Ibrahim meninggalkan orang-orang yang dicintainya. Namun, kecintaan Ibrahim terhadap mereka, menghentikan langkahnya seraya berdo'a dan bermunajat kepada Allah…sang khalik yang lebih mencintai hamba-Nya. Do'a ini diabadikan dalam Al Qur'an, " Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berdo`a: Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rezki dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman di antara mereka kepada Allah dan hari kemudian. Allah berfirman: "Dan kepada orang yang kafirpun Aku beri kesenangan sementara, kemudian Aku paksa ia menjalani siksa neraka dan itulah seburuk-buruk tempat kembali". (Al-Baqarah: 126). Sedangkan tempat berdirinya Ibrahim menjadi maqom Ibrahim dekat Baitullah.

Ismail mulai menangis di tengah terik matahari karena kehausan , Siti Hajar sebagai seorang ibu bangkit untuk berusaha mencari air bagi anaknya. Siti Hajar harus berlari-lari antar dua bukit, Shafa dan Marwah. Perjuangan ini diabadikan dalam prosesi Sa'i. Sa'i adalah simbol kecintaan dan pengorbanan seorang ibu terhadap anaknya. Dengan perkenan Allah, muncullah air dari sela-sela jari bayi Ismail. Dan terpancarlah air yang tak pernah habis sejak dulu hingga saat ini walaupun senantiasa diambil oleh berjuta-juta jama'ah haji, itulah air zamzam.

Ismail tumbuh menjadi seorang pemuda yang sehat. Ia menjalani masa remajanya dengan penuh kecintaan dari kedua orang tuanya yang shaleh. Namun, Allah kembali menguji kekasih-Nya Ibrahim berupa perintah untuk menyembelih putra tercintanya. Percakapan antara ayah dan anak untuk memenuhi perintah Allah ini diabadikan dalam Al Qur'an. Sungguh Allah hendak memperlihatkan gambaran hubungan sejati seorang ayah yang taat pada Rabbnya dan anak yang sangat shaleh. Keluarga yang sakinah dan harmonis ini mendapat tantangan yang cukup berat dari syetan la'natullah. Dengan landasan keimanan, keluarga ini mampu memberikan perlawan yang sempurna, yaitu keikhalasan seluruh anggota keluarga untuk melaksanakan perintah Allah untuk menyembelih Ismail. Saat-saat menegangkan nabi Ibrahim harus mengorbankan putranya, Allah mengganti Ismail yang sedang terbaring menjadi seekor gibas yang sehat dan gemuk. Itulah sejarah ibadah qurban yang menjadikan cinta karena iman sebagai pondasinya.

Rasulullah bersabda "Barangsiapa memiliki kemampuan untuk berqurban tapi tidak melaksanakannya maka janganlah mendekati mesjidku". Diriwayatkan oleh Tirmidzi dan dishahihkan oleh Hakim. Hadist itu menunjukkan bahwa Rasulullah mengusir orang yang enggan berqurban padahal mampu. Manusia cenderung mencintai harta, maka Allah memerintahkan agar mereka mengeluarkan sebagian harta yang dicintainya untuk berqurban dengan ternak yang terbaik. Dalam bahasa arab, qur'an berasal dari kata qaraba yang artinya mendekatkan. Hal ini mengandung arti bahwa cinta yang shohih adalah cinta karena iman, sebuah cinta yang dapat mengantarkan kedekatan seorang hamba pada Sang Khalik. Cinta ini akan menembus batas-batas golongan tempat, bahkan menjadi esensi murni dari bentuk persaudaraan di muka bumi.

Allah akan melimpahkan cinta yang hakiki ini pada orang-orang beriman yang merupakan satu garis lurus dari cinta antara dua orang manusia, laki-laki dan wanita, berlanjut lagi yaitu cinta antara sesama manusia kemudian meningkat pada kecintaan yang lebih tinggi, sebagai puncaknya adalah cinta pada Allah dan Rasulnya. Itulah sebabnya Rasul bersabda bahwa dasar-dasar cinta apapun harus karena Allah yaitu dengan sabdanya"Cintailah sesuatu karena Allah dan benci terhadap sesuatu karena Allah". Cinta antara dua manusia yang hakiki menghantarkan pada terbentuknya keluarga yang kokoh sebagaimana rumah tangga nabiyullah Ibrahim. Dari sini lahirlah dua buah bangsa, yaitu Mekah dan Baitul Maqdis (Yerussalem). Mekah, diawali oleh Siti Hajar dan Ismail sebagai cikal bakal generasi Bani Hasyim yang melahirkan Rasulullah sebagai pembawa dan penyempurna risalah islam. Sedangkan Bitul Maqdis (Yerussalem) yang diawali oleh Siti Sarah dan putranya Ishak menjadi cikal bakal generasi Bani Israil. Kedua bangsa tersebut terbina oleh iman yang berawal dari sebuah keluarga.

Cinta yang yang hakiki membuka jalan bagi rahmat Allah melalui mekanisme-Nya yang unik. Allah mengikat hati dan jiwa mereka, mempertemukan, menyatukan ibarat interferensi dua buah gelombang elektromagnetik (bisa menembus ruang dan waktu) yang memiliki amplitudo, frekuensi dan beda fase yang tetap. Kedua gelombang saling beresonansi….wallahua'lam. Ini pulalah gambaran dari pengertian belahan jiwa, seperti yang ditafsirkan Surat An-Nisaa' ayat 1 karya Syekh Sayyid Qutb dalam tafsir Fi Zilalil Qur'an. Ayat ini menjelaskan terbentuknya sebuah bangsa. Cinta sesama muslim-pun tergambar dari mekanisme unik ini. Sabda Rasulullah bahwa muslim ibarat satu tubuh, satu sama lain saling membantu dan membutuhkan. Kemudian tidaklah beriman diantara kalian sebelum mencintai saudaranya sebagaimana mencintai dirinya sendiri". Manusia sangat cinta dirinya (ego-nya). Inilah yang hendak ditembus dengan Islam dengan konsep cintanya yang bernilai tinggi. Maka esensi ibadah qur'ban harus mengekspresikan cinta dalam kehidupan sosial, tidak hanya sesama muslim tapi rahmatan lil'alamin.

E. Makna Qurban dalam Psikologi sufistik
Dalam kajian esoterik Islam, peristiwa Qurban memiliki makna simbolik yang teramat dalam, secara terperinci dapat dijelaskan:1. Kita mencontoh keteladanan nabi Ibrahim yang berjuang menundukkan keakuannnya dan cintanya yang mendua untuk diqorbankan dalam satu cinta yang sejati, yaitu cinta kepada Allah Swt. 2. Kita mencontoh Nabi Ismail yang juga berjuang untuk menundukkan keakuan dan idealisme yang kritis untuk tunduk dalam ketaatan pada wahyu ilahi yang diyakini sebagai kebenaran dari Tuhan.3. Menyembelih binatang seperti unta, kerbau, sapi dan kambing mengandung makna hakikat yang begitu dalam. Unta, kerbau, sapi dan kambing merupakan symbol sifat dan karakter kebinatangan, dalam rangka mendekatkan diri kepada Tuhan, maka sekat-sekat kebinatangan tersebut harus disembelih, untuk memuluskan perjalanan menuju ma'rifatullah. Makna seperti ini juga berlaku kepada cerita tentang nabi Khidir yang menyembelih anak kecil yang tidak bersalah, sebenarnya makna hakikatnya adalah menyembelih sifat dan karakter kekanak-kanakan kita. Bukan dipahami sebagai penyembelihan secara fisik melainkan lebih tepat penyembelihan secara psikis terhadap karakter negatif dan sifat ketergantungan yang mendalam pada sesuatu selain Allah. Khidir melubangi perahu agar tenggelam dalam samudera, tidak bias dipahami secara tekstual, melainkan memiliki makna hakikat yaitu perahu dalam bahasa sufistik mengandung makna Fisik, keduniawian, kemelekatan terhadap dunia, dunia berasal dari kata dana-yadni-dunya artinya sesuatu yang rendah dan jauh. Maka perahu sebagai symbol dunia itu harus dilubangi dengan pisau ma'rifatullah agar tenggelam dalam samudera ilmu Allah yang sangat amat luas. Sebagaimana firman-Nya: Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan laut (menjadi tinta), ditambahkan kepadanya tujuh laut (lagi) sesudah (kering) nya, niscaya tidak akan habis-habisnya (dituliskan) kalimat Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.(QS.Luqman: 27) Katakanlah: "Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: "Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan Yang Esa". Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya".(QS. Al-Kahfi:110)

Sedangkan makna Khidir membangun pagar dan rumah yang roboh untuk menyelamatkan mutiara dan pusaka anak yatim. Mengandung makna sufistik yaitu Pagar adalah symbol iman dan aqidah Islam yang benar, ketika iman dan aqidah mulai roboh maka khidir berusaha untuk membangun kembali agar tetap kokoh. Rumah adalah symbol dari Islam, Rumah adalah tempat tinggal yang melindungi penghuninya dari kedinginan dan kepanasan begitu juga halnya dengan islam yang akan melindungi pengikutnya dari kedinginan adzab Allah dan kepanasan api neraka. Mutiara dan pusaka yang diwariskan adalah symbol dua warisan Rasulullah yaitu Kitabullah dan Sunnah Rasulullah. Anak yatim yang dilindungi oleh Khidir adalah symbol ruh, karena ruh ilahiyyah tidak mengenal nasab, tanpa ayah dan tanpa ibu. Nah ruh ilahiyyah inilah yang disebut hidayah.

TAFSIR TENTANG "CAHAYA DI ATAS CAHAYA"

Oleh: Qiro'atut Taslimah [Mahasiswi Institut Ilmu Al-Qur'an (IIQ) Jakarta, Murid Thariqah Al-Ahadiyyah]

Adanya cahaya/sinar adalah merupakan suatu siklus keteraturan alam yang indah, dimanapun kapanpun ternyata sinar/cahaya sangat dibutuhkan oleh makhluk hidup guna melangsungkan kehidupannya, sampai yang lebih spesifik lagi yaitu hati manusia bila tidak ada cahaya yang menerangi maka hati itu akan buta - tidak terlepas dari bangsa dan agama manapun, seperti : biksu, pendeta atau bahkan orang biasa, dll. Namun bagi kaum muslim sudah ada garansi/jaminan bahwa Allah akan senantiasa memberikan bimbingan kepada orang-orang yang beriman untuk mengeluarkan dari alam kegelapan menuju ke alam yang penuh dengan cahaya yang terang benderang (QS.2:257).

Sesungguhnya Allah telah mengilhamkan kepada manusia jalan yang baik/taqwa (dalam bentuk cahaya yang terpatri di dalam lubuk hati sanubari yang paling dalam = IMAN) dan buruk (fujur) dan Allah senantiasa akan menyempurnakan cahaya-Nya yang ada pada manusia bila mereka selalu mengasah/melatih untuk menggunakan segala macam ni'mat yang telah diberikan, walau orang-orang yang berada di alam kegelapan (orang-orang yang memiliki amalan/perbuatannya jauh dari agama atau yang lebih dikenal dengan istilah kafir/kufur atau berbuat musyrik/syirik) membencinya dan tidak senang bila cahaya Allah terpancar di dalam diri setiap orang yang beriman, sebagaimana firman Allah swt : "Yuriiduuna Liyuthfiuu Nuurollahi Biafwahihim Wallohu Mutimmuu Nuurihi Walau Karihal Kafirun (Orang-orang kafir/musyrik itu selalu berusaha ingin memadamkan cahaya-cahaya Allah di dalam diri manusia dengan do'a-do'a dan ucapan-ucapan mereka, akan tetapi Allah swt senantiasa menyempurnakan cahaya-Nya sehingga terhunjam lebih dalam di hati orang yang beriman kepada-Nya)". (QS.61:8).

"Kafir" adalah orang yang ingkar kepada Allah, sedang "Kufur" adalah perbuatannya, dan "Musyrik" adalah orang yang menyekutukan Allah dengan sesuatu, sedang "Syirik" adalah suatu bentuk perbuatan yang mengandung makna menduakan/persekutuan.

Banyak orang Islam yang melakukan perbuatan-perbuatan kufur dan syirik/mempersekutukan Allah tanpa disadari, salah satu contoh : seseorang yang bila mendapatkan kesuksesan atau keberuntungan, lalu dia berkata karena kegigihan dan hasil usahanya semata, maka sebenarnya orang tersebut telah melakukan suatu bentuk perbuatan yang kufur, bisa juga telah berbuat syirik, karena telah meniadakan rahmat Allah yang telah memberikannya rizqi yang berupa keberhasilan.

Jadi sangat penting sekali cahaya bagi kehidupan ini karena dengan adanya cahaya berarti terkandung pula energy di dalamnya, semakin besar dan terang cahaya tersebut berarti semakin banyak pula kandungan energynya, sampai-sampai fisikawan dunia peraih hadiah noble di bidang fisika (Albert Eistein) membuat suatu rumusan : E = MC2 yang berarti : Energy = Massa X Cepat X Cahaya, jadi sangat masuk akal rumusan ini baik secara keilmuan maupun secara tingkah laku manusia di alam jagat raya ini, contoh : bila kita melihat setiap peperangan antara Muslim dan Kafir, pada akhirnya selalu dimenangkan oleh kaum Muslimin karena dinilai lebih berEnergy/memiliki Energy yang sempurna, sebagaimana penjabaran di bawah ini dari kasus di atas :
M = massa/pasukan perang,
C = cepat dalam menghadapi tantangan lawan/musuh, dan
C = cahaya keimanan yang selalu terpatri di dalam hati para pejuang,
tapi ada pengecualian bila setiap pasukan muslim tidak memiliki nilai cahaya keimanan maka akan sama dengan kaum kafir bahkan pasukan muslim pun akan terkalahkan,bahkan lebih parah dan banyak lagi contoh lainnya.

Oleh sebab itu, manfaatkanlah anugerah yang Allah telah berikan kepada kita dan berlatihlah selalu agar cahayanya lebih terang-benderang dan dapat membimbing kita menjadi Insan Kamil (manusia sempurna).

Allah swt dalam Al-Qur'an menyatakan bahwa :
"Allah (pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupuntidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu".(QS.15:35)

TAFSIR MA'RIFATULLAH SURAH AN-NAS [114]: AYAT 1-6

Oleh: Syaikh Al-Akbar Muhyiddin Ibn Arabi[1]

1. Katakanlah: "Aku berlidung kepada Tuhan (yang memelihara dan menguasai) manusia.
2. Raja manusia.
3. Sembahan manusia.
4. Dari kejahatan (bisikan) syaitan yang biasa bersembunyi,
5. Yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia,
6. Dari (golongan) jin dan manusia.

Qul a’ûdzu birobbinnâs, katakanlah aku berlindung kepada Tuhan manusia. Yang dimaksud dengan Tuhan manusia adalah Dzat berikut seluruh sifat-Nya, kenapa Tuhan manusia? Karena manusia sesungguhnya adalah makhluk yang mencakup seluruh tingkatan wujud. Ini berarti bahwa Tuhan pencipta manusiapun. Adalah Dzat berikut seluruh nama-nama yang menjadi pangkal seluruh ciptaan, dzat berikut seluruh nama itu diungkapkan dengan nama Allah karena itu Allah berkata kepada Iblis “Apa yang membuatmu enggan bersujud dengan apa yang aku ciptakan dengan kedua tanganku?”. Yang dimaksud dengan kedua tanganku adalah dengan sifat-sifat yang saling berlawanan. Seperti sifat kelembutan dengan kemurkaan, sifat keindahan dengan keagungan, yang kedua-duanya meliputi nama-nama Tuhan itu. Allah memerintahkan agar berlindung dengan Wajah-Nya [Liqa’ Allah], setelah berlindung dengan sifat-sifat-Nya. Karena itu surah ini diletakkan setelah surah Al-Falaq. Sebab di dalam surah al-mu’awwidah pertama, nabi memohon perlindungan di dalam maqam sifat dengan namanya yang maha pemberi petunjuk (Al-Hadi), lalu Allah menunjukinya kea rah dzat-Nya.

Kemudian Allah menjelaskan kata Tuhan manusia (Rabb An-Nas) dengan kata raja manusia (Maliki Al-Nas) yang terdapat dalam ayat 2. Ini menunjukkan bahwa kata kedua sebenarnya adalah penjelas (athaf bayan) bagi kata pertama, karena yang namanya raja adalah dialah yang menguasai nama dan urusan-urusan mereka dilihat dari segi kefanaan. Mereka di dalam Tuhan. Ini dijelaskan oleh firman-Nya kepunyaan siapakah kerajaan hari ini?. Kepunyaan Allah yang Maha Esa dan perkasa. Sebab raja pada hakikatnya adalah yang Esa dan Perkasa yang menguasai segala wujud sesuatu, kemudian menyayanginya.

Ilahinnas (sembahan manusia), ayat ini untuk menjelaskan keadaan baqa’ mereka setelah fana’, karena kata ilah (tuhan) adalah yang disembah secara mutlak. Itulah dzat berikut seluruh sifatnya, dilihat dari sudut pandang akhir perjalanan nabi Saw. Nabi berlindung dengan sisi mutlak Tuhan, lalu Dia fana’ di dalamnya. Dan tampaklah Dia sebagai Raja, kemudian Tuhan mengembalikan Nabi kepada wujud semula untuk menyembahnya. Sehingga Tuhan selamanya adalah yang disembah. Dengan demikian sempurnalah permohonan perlindungan Nabi kepada Tuhan.

Min syarril was wâsil khannâs (Dari kejahatan bisikan setan) ayat 4, sebab bisikan menuntut adanya tempat yang bersifat wujud seperti disebutkan dalam ayat selanjutnya yang membisikkan kejahatan ke dalam dada manusia (Al-Ladzî yuwaswisu fî shudûrinnâs) ayat ke 5. Sedangkan dalam keadaan fana’. Tidak ada wujud. Tidak ada dada, tidak ada bisikan, tidak ada pembisik, tetapi yang muncul di sana adalah ketergoyahan (talwin), karena adanya wujud egoisme. Karena itu katakanlah wahai Muhammad: Aku berlindung kepadamu darimu.Maka ketika Tuhan menjadi sembahan dengan adanya penyembah, maka setanpun muncul dengan munculnya penyembah, seperti halnya setan, pertama kali ada, karena adanya penyembah.

Kata al-was-was adalah kata benda (bisikkan). Sang pembisik (al-muwas-wis disebut bisikan) karena godaannya yang terus menerus sedemikian melekat godaan itu pada dirinya sehingga ia adalah bisikkan itu sendiri.Nabi memohon pertolongan dari bisikkan itu dengan kata ilah, Dan bukan dengan sebagian namanya seperti dalam surat al-mu’awwidah pertama (al-falaq), semata-mata karena setan bisa menentang yang maha Pengasih (Ar-rahman) serta menguasai seluruh bentuk manusiawi dan suka menjelma (dalam bentuk seluruh nama-nama Tuhan). Kecuali nama Allah. Nabi berlindung dari bisikkan itu tidak cukup dengan nama al-Hadi, Al-Alim, Al-Qadir dan sebagainya, melainkan langsung dengan ilah, yang mencakup Dzat berikut seluruh sifatnya. Jadi jika dalam surah Al-Falaq, nabi berlindung dengan Tuhan Penguasa subuh. Maka dalam surah An-Nas, beliau berlindung dengan Tuhan manusia. Dari sini bisa dipahami makna sabdanya, siap yang bermimpi bertemu denganku, maka benar-benar bertemu denganku, karena setan tidak bisa menjelma meneyerupaiku, artinya karena beliau telah sempurna berlindung dengan nama yang tidak bisa ditiru setan yakni nama Allah, maka setanpun tidak bisa menyerupai Nabi saw.

Al-Khannas (yang biasa bersembunyi-ayat 4). Jelasnya adalah yang kembali (setelah mundur). Sebab setan tidak bisa membisikkan kecuali kalau yang terbisik dalam keadaan lupa. Karena itu setiap kali seseorang sadar dan mengingat Allah, maka setanpun akan terpukul mundur, sebab kata khannas (yang seakar kata dengan khannas) adalah kata benda yang menunjukkan kebiasaan, seperti kata waswas juga. Dari Said bin jabir: ” Jika seorang manusia mengingat Tuhannya, maka setan akan terpukul mundur dan kabur, dan jika ia lupa maka setan kembali membisikkannya.” Kalimat ”dari jin dan manusia” (minal jinnati wa al-nas) adalah penjelas untuk kalimat ”yang membisikkan (kejahatan)”. Sebab sesungguhnya pembisik dari kalangan setan itu ada dua macam: pertama, tersembunyi dan tidak kasat mata seperti wahm; kedua: bersifat manusiawi, berbentuk manusia yang kasat mata, seperti individu-individu yang menyesatkan.

Celakanya, setan bisa menggoda dengan menjelma seperti orang yang memberi petunjuk dalam bentuk nama Al-Hadi. Ini misalnya terlukiskan dalam firman-Nya: Sesungguhnya engkau datang kepada Kami dari sebelah kanan. Karena itu ,terhadap setan yang menjelma dalam bentuk nama lainnya (selain Al-hadi dari nama-nama Tuhan),maka permohonan perlindungan dari setan itu tidaklah sempurna kecuali dengan nama Allah. Sebab Allahlah Yang Maha melindungi.
[1] Diterjemahkan oleh KH.Shohibul Faroji Al-Robbani dari Tafsir Al-Qur’an Al-Azhim Ibnu Arabi, Jilid 2