Senin, 20 Agustus 2007

TAFSIR SURAH AL-BAQARAH AYAT 27-29

Oleh: Syaikh Al-Akbar Muhyiddin Ibn Arabi [Mursyid Thariqah Al-Ahadiyyah]
“Yaitu orang-orang yang melanggar perjanjian Allah sesudah perjanjian itu teguh, dan memotong apa yang telah diperintahkan Allah (kepada mereka) untuk menghubungkannya dan membuat kerusakan dimuka bumi. Mereka itulah orang-orang yang rugi.”Ayat ini masih menjelaskan tentang predikat orangn-orang kafir, orang fasik dan orang-orang munafik. Mereka memiliki karakter yang sangat jelas, yaitu sikap untuk terus menerus melanggar komitmen yang sudah disepakati bersama, bahkan memiliki kecendrungan untuk memutuskan jalan bagi berlakunya perintah-perintah Allah, dengan suatu kepentingan, agar struktur dunia ini hancur, buni ini gonjang ganjing, dan bahkan pada akhirnya sejarah mencatat mereka sebagai golongan orang-orang yang ememtik kerugian besar.Dalam perjalanan batin kita menuju kepada Allah, senantiasa muncul nafsu-nafsu untuk melanggar aturan-aturan dunia samawat (langit), yang sesungguhnya telah jadi kesepakatan dan kita teguhkan dizaman “azali” dulu, bahwa kita senantiasa akan berselaras dengan Perjanjian Ilahiah (‘Ahdullah) ketika itu. Tetapi orang yang tertutup hatinya oleh kegelapan duniawi, yang ditegakkan oleh ambisi dan nafsu, maka Perjanjian Ilahiah tertutup dari jati diri kita, rahasi batin kita, sehingga justru nafsu itu ingin mengabaikan aturan-aturan Ilahiah yang murni dan hakiki.Allah memberikan gambaran, bahwa kecendrungan itu akan mengakibatkan kerusakan dubia dan bumi ini, karena manusia melanggar kekhalifahan dirinya, yaitu jabatan yang telah diberikan Allah dalam “konstitusi ruhani” dialam ‘azali dulu.Kekhalifahan yang tercerabut, akhirnya memunculkan “kekhalifahan semu” yang emnjadi alat penghancur bumi, alat kefasikan dan kemunafikkan, alat dunia lahiriah dengan segala daya tariknya. Ayat ini sekaligus menjadi penghantar bagi “jabatan” kekhalifahan manusia itu sendiri, yang sesungguhnya setiap manusia adalah khalifah. Kekhalifahan hanya bias mawjud manakala seseorang benar-benar menjadi hamba Allah, hamba dalam kefanaan dirinya, fana’ul fana’ dan baqa’ bersama Allah. Itulah bagian dari kekhalifahan sufistik, dimana pelanggaran-pelanggaran atas wilayah ruh yang bersumber dari wilayah amr seringkali dipotong oleh kefasikkan-kefasikan jiwa kita.Ayat selanjutnya menegaskan :“Bagaimana kamu bisa kafir kepada Allah, sedangkan kamu tadinya mati, lalu Allah menghidupkan kami, kemudian kamu dimatikan dan dihidupkannya kembali, kemudian kepada-Nyalah kamu dikembalikan ?”“Dialah Allah yang menjadikan segala yang ada dibumi untuk kamu dan dia berkehendak menuju langit, lalu dijadika-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.”Sebelum ada kehidupan didunia ini, semula kita ini mati. Lalu dihidupkan kembali oleh Allah SWT. Allah mematikan lagi, lalu menghidupkan lagi akhirat nanti. Kemudian semuanya kita kembali kepada Allah.Kealpaan manusia untuk kembali kepada Allah semakin ditebalkan oleh hijab dengan ciptaan-ciptaan. Padahal, sesungguhnya ada tujuh lapisan cahaya, tujuh lapisan jiwa dan lapisan-lapisan dalam alam samawat lainnya, yang sangat erat hubungannya dengan makna spiritual.

TAFSIR SURAH AL-BAQARAH AYAT 25-26

Oleh: Syaikh Al-Akbar Muhyiddin Ibn Arabi [Mursyid Thariqah Al-Ahadiyyah]
“Dan berilah kegembiraan orang-orang yang beriman dan orang-orang yang beramal saleh, bahwa mereka mendapatkan surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. Setiap mereka diberi rizki buah-buahan dalam surga-surga itu, mereka mengatakan, “Inilah yang pernah diberikan kepada kami dahulu.” Mereka diberi buah-buahan yang serupa dan untuk mereka di dalamnya ada istri-istri yang suci dan mereka kekal di dalamnya.” “Sesungguhnya Allah tiada malu membuat perumpamaan berupa nyamuk atau yang lebih rendah dari itu. Adapun orang-orang yang beriman, maka mereka yakin bahwa perumpamaan itu benar dari Tuhan mereka, tetapi mereka yang kafir, “Apakah maksud Allah menjadikan ini untuk perumpamaan ?” Dengan perumpamaan itu banyak orang yang disesatkan Allah, dan dengan perumpamaan itu banyak orang yang diberi-Nya petunjuk Allah. Dan tidak ada yang disesatkan Allah kecuali orang-orang yang fasik.”Ayat di atas menggambarkan bagaimana sebuah kesadaran ruhani hanya bisa diraih oleh orang yang beriman dan beramal saleh. Sementara Allah juga menampakkan adanya sebuah maqam, di mana ilmu-ilmu Ilahiah mengalir, yang digambarkan sebagai bengawan-bengawan surgawi. Bahwa sungai atau bengawan itu, dalam perspektif kehidupan dunia, memang merupakan pandangan yang teramat indah, di samping sungai-sungai memang memberikan aliran kehidupan yang bisa dijadikan perangkat bagi tumbuhnya tanaman-tanaman dan kemakmuran.Ketika mereka diberi limpahan rizki berupa buah maqamat (tahapan ruhani), seperti limpahan syukur, taubat, ridla, ketaqwaan, dzikir, qana’ah, zuhud, mahabbah dan ma’rifah, tiba-tiba mereka teringat betapa buah maqamat itu sesungguhnya pernah ia lihat sebelumnya ketika dalam kehidupan dunia. Namun kehidupan dunia telah berbaur dengan nafsu yang menghijabinya, menutup dengan tirainya, sampai akhirnya nuansa hati yang sebenarnya sirna.Hikmah-hikmah Ilahiah, yang hilang sepertinya ditemukan kembali dalam aliran sungai ma’rifah itu. “Al-Hikmatu Dlaallatul Mu’min.” (Hikmah adalah hilangnya barang berharganya orang yang beriman). Jadi hikmah yang hakiki itu baru didapatkan kembali ketika ia mulai mendapatkan kiriman buah-buah maqamat jiwa di dalam surga.Sementara itu istri-istri yang digambarkan sebagai bidadari yang suci. Maksudnya adalah jiwa-jiwa keindahan yang suci yang tercermin dalam sosok-sosok bidadari. Jiwa yang tidak terasuki nafsu dan syetan serta watak-watak duniawiah dan kotornya anasir-ansir duniawi lainnya.Sedangkan ayat selanjutnya, mengenai pernyataan Allah Ta’ala bahwa Diri-Nya tidak segan membuat perumpamaan dengan sebuah misal tentang nyamuk, pada hakikatnya adalah kritik yang halus betapa sesungguhnya orang-orang kafir itu lebih hina dibanding nyamuk sekali pun. Sebab sayap-sayap kafir yang diperumpamakan nyamuk itu, adalah bersayap duniawiah. Tetapi perumpamaan itu dianggap bukan sebagai kebenaran oleh orang-orang yang sesat, yang digambarkan sebagai kalangan fasik. Yakni kefasikan mereka akibat mereka sendiri telah keluar dari alam kalbu menuju alam nafsu.Kalangan fasik ini nilainya memang sedikit rendah dibanding kalangan kafir. Namun bahwa pembangkangan mereka itulah yang menyebabkan mereka terjerumus dalam kekafirannya. Kefasikannya telah membuatnya sesat, dan sesatnya berada dalam kegelapan yang mencekam, hanya karena mereka ingkar atas datangnya al-Qur'an. Maka semakin tambah jauh, semakin gelap, semakin gulita.Allah memang sering membuat perumpamaan-perumpamaan untuk lebih mudah difahami. Karena itu orang yang memang memiliki keimanan yang dalam akan senantiasa menyatakan betapa perumpamaan itu memang datang dari Allah SWT. Hanya sebuah kefasikan saja yang menghalangi seseorang untuk melihat suatu anugerah pengetahuan dan hikmah Ketuhanan.

TAFSIR SURAH AL-BAQARAH AYAT 23-24

Oleh: Syaikh Al-Akbar Muhyiddin Ibn Arabi [Mursyid Thariqah Al-Ahadiyyah]

“Jika kamu sekalian dalam keraguan terhadap apa yang Kami turunkan terhadap hamba Kami, maka datangkanlah satu surat (saja) yang sepadan dengannya, dan undanglah para saksi-saksi kamu selain Allah, jika kamu termasuk orang-orang yang benar.”“Maka apabila kamu belum berbuat dan tidak melakukan, maka takutlah pada neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, yang disediakan untuk orang-orang kafir.”Ayat ini masih terkait dengan ayat-ayat sebelumnya. Allah masih membicarakan masalah iman dan kekafiran, ibadah dan akibat dari penolakan terhadap keimanan itu sendiri. Di samping itu, faktor-faktor hijab yang menutupi mata hati mereka sehingga mereka berani menentang atau ragu-ragu terhadap ayat Allah masih kental dalam ayat di atas.Akal manusia memiliki kreasi berfikir secara sistematis, sehingga berkembang bersama nafsu untuk membuat sistem tandingan, termasuk keinginan menandingi ayat-ayat al-Qur’an. Di sana mulai muncul keraguan-keraguan atau skeptisisme, yang mempertanyakan keyakinan atas Eksistensi Allah SWT. Padahal Allah Ta’ala juga Maha Tahu jika manusia tidak akan mampu menandingi-Nya dalam manifestasi Sifat maupun Af’aal-Nya.Keraguan itu merembet pada Hak Kenabian Muhammad SAW, hanya karena Muhammad SAW, manusia biasa, seperti mereka pula. Tetapi mereka lupa, bahwa posisi pilihan Allah Ta'ala kepada Muhammad SAW, sebagai Nabi dan Rasul mengandung rahasia besar yang tak bisa mereka ungkapkan. Di sinilah mereka terhijab oleh pemikiran dan logikanya sendiri. Logika yang biasanya didasarkan melalui sistematik-matematik, sebab akibat sejarah, fenomena-fenomena eksperimental, dan bukti-bukti rasional. Secara tegas Allah memberikan ancaman, manakala kamu sekalian tidak mampu berbuat sebagaimana tantangan Allah, maka kalian harus beriman dan ber-Islam, menghindari sikap keras kepala yang menjerumuskan kalian pada neraka. Dan neraka itu memang bahan bakarnya manusia dan batu. Api neraka bisa menyala-nyala jika diberi bahan bakar manusia dan batu. Maksudnya, nafsu manusialah yang menyalakan api itu hingga berkobar, nafsu yang terus menerus mengeras, berubah seperti batu, dan semakin panas. Panasnya nafsu dan kerasnya hati yang membatu, telah menjadi tirai yang menghalangi keyakinan manusia yang kafir kepada Allah Ta’ala. Akhirnya secara spiritual ia tersiksa oleh kobaran nafsunya sendiri.Kecintaan manusia pada materi duniawi, telah menghalangi kecintaannya kepada Allah SWT. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW: “Seseorang akan dikumpulkan beserta yang dicintainya, bahkan seandainya ia mencintai batu sekali pun, ia akan bersama batu itu.”Lalu apa yang diandalkan manusia dalam proses ruhaninya ketika kecintaannya tertumpu selain Allah dan Rasul-Nya? Apa yang bisa digambarkan seseorang bisa bertemu Allah jika dalam hatinya penuh dengan gambaran-gambaran duniawi ini ?.Karena itu Allah mengakhiri ayat tersebut, dengan kalimat “U’iddat lil-Kaafirin”. Bahwa neraka itu disediakan untuk orang-orang kafir, semata karena orang kafir itu telah terputus dan terhijab dari cita-cita luhur mereka, dengan mengabaikan Allah sebagai Tuhan mereka.

TAFSIR SURAH AL-BAQARAH AYAT 21-22

Oleh: Syaikh Al-Akbar Muhyiddin Ibn Arabi [Mursyid Thariqah Al-Ahadiyyah].
“Hai manusia sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan (menciptakan) orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air hujan dari langit, lalu menumbuhkan dengan hujan itu, buah-buahan sebagai rizki bagi kamu. Maka janganlah mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, sedangkan sebenarnya kamu tahu (itu)”Pada ayat sebelumnya Allah membicarakan tentang orang-orang yang bahagia dan orang-orang yang celaka. Kemudian Allah mengajak ummat manusia untuk bertauhid. Awal dari tahap Tauhid adalah Tauhid Af’aal . Karena itu Allah mengaitkan antara Ubudiyah dengan Rububiyah, agar para hambaNya menikmati wahananya dengan melihat kenikmatan itu sendiri, sehingga para hamba tumbuh rasa cinta kepadaNya, sebagaimana dalam hadits Qudsi, “Maka Aku memnciptakan makhluk, dan Aku buat mereka mencintaiKu melalui nikmat(Ku).” Ibadah yang diperintahkan oleh Allah swt, semata juga dalam kerangka menghilangkan salah satu dari Hijab yang menghalangi hubungan hamba dengan Allah. Hijab pertama adalah Hijab Af’aal, kemudian Hijab Sifat dan Hijab Dzat, melalui tahap pertama, yaitu Tajallinya Af’aal Allah. Sebab, makhluk itu terhijabi untuk melihat ketiga-tiganya : Af’aal, Sifat dan Dzat, terhalangi oleh semesta kemakhlukan.Di dalam ayat tersebut dijelaskan bagaimana Allah memerintahkan beribadah pada hambaNya, dengan menggambarkan latar belakang, seputar penciptaan, fungsi bumi dan langit, kemakmuran akibat yang ditimbulkan bumi dan langit, dan rizki dibalik penciptaan itu. Namun, manusia terhalangi pandangannya sehingga merasa bahwa langit dan bumi seisinya itulah yang bisa diandalkan sebagai tempat berpijak, tempat bergantung dan sumber rizki. Padahal semua itu dari Allah swt. Artinya, Allah Ta’ala-lah yang mengerjakan semua itu, menciptakan semua itu dan memanage semuanya. Berarti tidak benar beribadah, kecuali hanya untukNya dan kepadaNya.Allah-lah yang berhak disembah, sehingga manusia hanya menyembah kepadaNya. Ibadah hanya sah bagi hamba, dan tertuju kepada Pencipta hamba. Karena itu sang hamba harus mengenal Penciptanya, dimana, Allah bertajalli melalui ciptaanNya. Tajallinya Allah bukan penyatuan WujudNya dengan wujud makhlukNya yang disebut dengan pantheisme. Tetapi, Tajallinya Allah adalah penampakan yang disaksikan oleh Jiwa Terdalam dari para hambaNya, dan karena itu, seperti dalam hadits, “Siapa yang mengenal jiwanya maka ia mengenal Tuhannya.”Allah menurunkan air dari langit. Maksudnya, Allah menurunkan Air Tauhid Af’aal Allah, lalu air itu menyebabkan tumbuhnya sikap pasrah total kepadaNya dari bumi hatinya. Disamping air itu juga menumbuhkan amal-amal dan kepatuhan, juga akhlak hasanah, agar menimbulkan rizki hati yang menumbuhkan buah-buah keyakinan, kondisi-kondisi ruhani yang luhur dan maqamat, seperti sabar, syukur dan tawakkal.Inilah yang kemudian, dibutuhkannya Risalah (Kerasulan) untuk menjembatani hubungan antara hamba dengan Allah, sebagaimana dibutuhkan jasad untuk suatu kerangka bagi jiwa kita. Risalah itu berfungsi untuk pertemuan Kalimat-kalimat Ilahi dalam hati dari ruhnya.Proses demikian, akan menghilangkan keragu-raguan atau pun dualitas dalam spirit kehambaan. Sebab tujuan utama dari penyembahan kepada Allah adalah ketaqwaan. Sedangkan taqwa itu sendiri merupakan sebuah prestasi atau maqam ruhani, dimana rahasia ruh seorang hamba sama sekali tidak terpisah dari Allah, sedangkan jasadnya bergerak menjalankan aturan-aturanNya.Ketaqwaan itu sendiri berarti manifestasi Tauhid kehambaan. Tauhid dalam arti yang hakiki, adalah perwujudan Syahadatain, yaitu penyaksian kepada Kemahatunggalan Allah dan hakikat Muhammad itu sendiri.

TAFSIR SURAH AL-BAQARAH AYAT 17-20

Oleh: Syaikh Al-Akbar Muhyiddin Ibn Arabi [Mursyid Thariqah al-Ahadiyyah]
Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api, maka setelah api itu menerangi sekelilingnya, Allah hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka, dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat. Mereka tuli, bisu dan buta, maka mereka tidaklah kembali (ke jalan yang benar).Ayat di atas menggambarkan fenomena hipokrisisme (tradisi maniak kemunafikan), yaitu digambarkan sebagai pihak yang mencoba menyalakan propagandanya, penyesatan opininya, lalu tiba-tiba Allah menghapus begitu saja api itu, sehingga mereka tergelantung dalam kegelapan yang memilukan.Dinding atau hijab antara diri mereka dengan Allah yang mereka bangun, adalah bentuk lain dari egoisme yang sangat menyedihkan. Mereka merasa benar, tetapi sekaligus juga tidak memiliki ketulusan jiwa. Lalu, mengapa Allah menghapus begitu saja cahaya yang mereka nyalakan itu ?.Ketulian telinga hati, kebisuan lisan kalbu, dan butaan mata hati, membuat mereka tidak mampu kembali kepada Allah. Sehingga Allah menghapus cahaya yang mereka nyalakan secara semu, karena penggambaran api itu, menunjukkan adanya gambaran neraka yang mereka simpan dalam kalbu, lalu mereka nyalakan sebagai lambang kebenaran. Tetapi kegelapan batin telah membuat mereka seperti semut hitam dalam kegelapan yang sangat sulit diduga, dan semut itu telah terkaburkan matanya, karena terhempas debu-debu yang mengelilinginya.Kita bisa mengambil hikmah, bahwa untuk keluar dari dilema kemunafikan, seseorang haruslah berani membuka kejujuran hatinya, mengatakan al-Haq sebagai manifestasi dalam dirinya, cahaya hatinya memancarkan cahaya-Nya.Suatu klaim, bahwa seseorang yang berani meyakini bahwa gerak-gerik lahir dan batinnya lepas dari “Gerak-gerik” Allah, berarti orang itu mulai menumbuhkan benih asli dari kemunafikan itu sendiri. Kelak, pasti menimbulkan sikap mendua atau dualisme, antara haq dan batil dalam jiwanya, penuh dengan rekayasa, bahwa kebenaran itu bisa direkayasa sebagai sesuatu yang muncul dari kebatilan. Sebaliknya kebatilan bisa direkayasa dari nilai-nilai kebenaran. Itulah awal hipokrisisme.Selanjutnya Allah SWT masih membuat proyeksi aktivitas kaum munafik ini dalam firman selanjutnya:“atau seperti (orang yang ditimpa) hujan dari langit, di dalamnya penuh kegelapan, gemuruh petir dan kilat. Mereka menyumbat telinganya dengan anak jarinya karena ptir itu, karena takut mati. Dan Allah meliputi orang-orang kafir. Hampir-hampir kilat itu menyambar mereka. Setiap kilatan itu menyinari mereka, mereka berjal;an di bawah cahaya itu, dan bila gelap menimpa mereka, mereka berhenti. Jikalau Allah menghendaki, niscaya Dia melenyapkan pendengaran mereka dan penglihatan mereka. Sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu.”Orang munafik selalu menjadi oportunis. Ia menghindar dari kebenaran, manakala kebenaran itu tidak menguntungkan nafsunya. Dan ia memilih kegelapan bila kegelapan itu mendukung nafsunya. Gambaran kegelapan dan guruh serta kilat yang menyala-nyala, adalah gambaran kebenaran yang hendak menyambar kebatilan dalam jiwanya. Tetapi mereka tidak mampu menerima kebenaran itu, sebab kebenaran dalam jiwa kaum munafiqin teramat pahit dan menyakitkan.Mengapa Allah tidak melenyapkan saja mereka itu? Kehadiran kaum munafik di lingkungan kita, semata-mata sebagai ujian bagi kita, sejauhmana kita mengambil hikmah dari tragedi hidupnya.Kita juga bisa mengambil pelajaran, dalam menempuh jalan ruhani atau jalan sufi, manakala dalam jiwa kita masih ada sesuatu selain Allah, berarti kita masih menghuni sebuah pulau kegelapan dari benua Ilahiah kita, yang ada dalam kalbu kita.Hati adalah Rumah Ilahi, manakala terisi sesuatu selain Allah, kemunafikan kalbu kita akan menggoyahkan mata hati, pendengaran hati, dan lisan hati, ketika menghadap kepada Allah SWT.

TAFSIR SURAH AL-BAQARAH AYAT 12-16

Oleh: Syaikh Al-Akbar Muhyiddin Ibn Arabi [Mursyid Thariqah Al-Ahadiyyah]
“Ingatlah, sesungguhnya mereka, adalah kalangan yang melakukan pengrusakan (di muka bumi), tetapi mereka tidak mengerti. Apabila dikatakan pada mereka, “Berimanlah! sebagaimana orang-orang beriman,” mereka mengatakan, “Apakah kami beriman sebagaimana yang dilakukan orang-orang bodoh ?”. Ingatlah! sesungguhnya mereka itu, adalah golongan bodoh, tetapi mereka tidak tahu.”Pribadi ganda orang-orang yang munafik senantiasa menyelimuti dirinya dengan kedustaan. Mereka terhijab dari kebenaran nuraninya paling dalam, sehingga memiliki keberanian dusta. Oleh sebab itu, dalam konteks yang lebih mendasar, mereka yang seringkali mengibarkan keimanan, nama Allah, bahkan Islam, tetapi hatinya penuh dengan kebusukan, seringkali memunculkan klaim bahwa dirinya paling Islam dan paling beriman, di samping menganggap yang lain kurang Islami dan kurang Imani. Klaim itulah yang menimbulkan wahana yang memunculkan anggapan dusta, bahwa orang lain itu hanya memiliki keimanan sebagaimana yang dilakukan orang-orang bodoh. Sementara kebodohan yang hakiki justru menempel di benak mereka.Pada ayat tersebut dikatakan, bahwa mereka justru kaum bodoh. Lalu di mana kebodohan munafiqin itu? Kebodohan itu terletak pada :
Ketakutan mereka terhadap kebenaran yang hakiki, yaitu tauhidullah dan ma’rifatullah.
Adanya hijab yang mereka pelihara sebagai kenikmatan. Hijab duniawi yang menghalangi hubungan mereka dengan Allah SWT.
Kesombongan mereka yang mengarah pada sikap egoismesentris, sehingga muncul pemberhalaan terhadap “keakuannya”. Kesombongan adalah awal dari kebodohan, dan kebodohan adalah arogansi yang menyeret pada sikap terbelah dalam egonya.
Mereka tidak mengerti, sekaligus juga tidak tahu. Artinya mereka tidak memiliki rasa cinta, kasih sayang, rasa malu, rasa bersalah, dan rasa mengabdi kepada Allah, disebabkan mereka tidak memiliki keyakinan yang teguh. Mereka yang tidak memiliki keyakinan teguh, berarti tidak memiliki pengetahuan itu sendiri.
Ketakutan terhadap diri mereka sendiri, ketika mereka berhadapan dengan cermin kebenaran.Lima elemen inilah yang kemudian tergambar dalam ayat berikutnya:“Ketika mereka bertemu dengan orang-orang yang beriman, mereka mengatakan, “Kami telah beriman.” Namun ketika mereka masuk dalam kelompok sesat mereka, mereka mengatakan, “Kami tetap bersama kalian, sesungguhnya kami hanya mengina (mereka saja). Allah menghina mereka dan menyeret mereka dalam kesesatan mereka sehingga mereka buta (hatinya)”. Mereka itu adalah orang-orang yang menjual kesesatan dengan hidayah, maka, mereka perdagangan mereka tidak membawa keberuntungan, dan mereka tidak mendapat petunjuk.Kalangan munafik secara sufistik, juga muncul di kalangan mereka yang sok sufi. Mereka seringkali mengatasnamakan sufi ketika memasuki kalangan dunia sufi, tetapi mereka hanya ingin mencurigai tasawuf, sekaligus menghinanya ketika mereka kembali ke kelompoknya. Jual beli dengan Allah, sesungguhnya adalah bermu’amalat dengan Allah, yaitu melaksanakan amaliah sesuai dengan kontrak ubudiah di zaman ‘azali dulu. Tetapi karena mu’amalat itu tertutup oleh hijab, maka ubudiah itu hanya verbal belaka.Banyak kalangan yang merasa menjadi sufi hanya karena mendalami dan membaca kitab atau buku-buku tasawuf. Padahal munculnya perasaan demikian tidak lebih dari nafsu yang memperdayainya sendiri, sehingga seakan-akan ia telah sampai pada batas sufisme, namun baru pada tahap mendengar atau menyimaknya belaka.Di samping itu, banyak kalangan yang merasa paling mendapat hidayah, sementara mereka sendiri sebenarnya telah memperjualbelikan hidayah dengan kesesatan mereka. Ketika mereka mengandalkan syari’at, sebagai sikap yang arogan, seakan-akan merekalah yang mendapatkan hidayah itu, sementara dunia hakikat mereka tinggalkan, namun mereka sudah merasa mencapai hakikat. Dan sebaliknya, mereka yang memasuki dunia hakikat, tetapi meninggalkan syari’at, merasa paling berhak mendapat hidayah, sehingga memunculkan sikap anti syari’at. Hakikat dan syari’at bukan simbol, tetap[i perilaku, dimana keduanya tidak boleh berpisah. Begitu seseorang memisahkan diri dengan segala keyakinannya, maka orang tersebut bisa terjebak dalam perilaku kemunafikan itu sendiri. Akibatnya tidak memiliki keberuntungan kedua belah pihak.

TAFSIR SURAH AL-BAQARAH AYAT 10-11

Oleh: Syaikh Al-Akbar Muhyiddin Ibn Arabi [Mursyid Thariqah Al-Ahadiyyah]

“Dalam hati mereka ada penyakit, maka Allah pun menambah penyakit mereka itu, dan bagi mereka adalah siksa yang pedih atas apa yang mereka dustakan. Apabila dikatakan pada mereka, “Janganlahn kalian membuat kerusakan di muka bumi!”, malah mereka menjawab, “Sebenarnya kami ini adalah golongan pembaharu (reformis) kebaikan.”“Dalam hati mereka ada penyakit”, dimaksudkan adalah penyakit keraguan dan kemunafikan. Penyakit yang sudah mendarah daging dalam jiwa mereka ini. Kemudian Allah menambah penyakit hatinya, yaitu berupa penyakit dengki, dendam dan keras kepala, dengan cara menggembar-gemborkan kalimat Allah, mengatasnamakan agama, atas nama atau demi Rasul dan kaum beriman, bahkan atas nama Allah, atas nama Islam, sementara jiwa mereka penuh dengan kebusukan, kehinaan dan kotoran-kotoran yang menjijikkan. Semua itu adalah penyakit jiwa.Dengan kata lain, mereka sedang sakit jiwa, tetapi mengaku paling waras, paling bersih dan paling benar. Sementara kecemburuan, kedengkian dan iri hati benar-benar telah mendarah daging dalam hatinya. Allah memberikan ancaman mereka dengan siksa yang teramat pedih. Siksaan jiwanya sebenarnya telah menggelapi hatinya, siksaan hijab keraguan dan kemunafikan yang menghalangi hubungan jernih antara dirinya dengan Allah.Karakteristik kemunafikan itu muncul dari elemen-elemen sifatnya, yang kelak menumbuhkan sifat baru, berupa kecenderungan-kecenderungan adu domba, menciptakan kerisauan sosial, demi ambisi pribadi dan kelompoknya. Ambisi itu sebagai penyakit lain yang tumbuh dari elemen kemunafikan tersebut, tujuan utamanya adalah menguasai duniawiyah, atas nama akhirat, atas nama agama dan atas nama Allah.Tetapi ketika mereka diajak memasuki iman yang hakiki, diajak untuk memasuki jalan Ilahi yang lebih esensial, mereka justru merasakan bahwa ajakan itu sebagai kekeliruan dan bahkan secara main-main mereka menyatakan dirinya sebagai reformis, pembaharu dan pencipta kebajikan. Padahal justru mereka itu menciptakan kerusakan dan kehancuran di muka bumi, hanya saja, karena hijab ruhani yang menutupi jiwa mereka, akhirnya malah mereka tidak memiliki rasa kebajikan itu sendiri. Yang ada adalah rasa kejahatan yang dianggapnya sebagai pendukung yang layak bagi gerakannya.Kenikmatan duniawi, sifat-sifat buruk, predikat kehinaan yang menempel pada diri mereka adalah hijab yang teramat tebal untuk mengingat kehidupan akhirat. Sesuatu yang menyakitkan manakala jiwa mereka diingatkan akan kehidupan hakiki di akhirat, apalagi diingatkan akan hakikat Ilahi. Siapa pun yang memiliki karakteristik seperti itu akan sulit menerima kebaikan Allah, karena kebaikan itu tidak akan tumbuh dalam jiwa yang sakit.

TAFSIR SURAH AL-BAQARAH AYAT 6-9

Oleh: Syaikh Al-Akbar Muhyiddin Ibn Arabi [Mursyid Thariqah Al-Ahadiyyah]

Sesungguhnya orang-orang yang kafir, apakah mereka telah engkau beri peringatan atau belum, mereka tetap tidak beriman. Allah telah memberi cap (tanda) pada hati mereka, juga pada pendengaran mereka, serta pada mata mereka, suatu ghisyawah. Dan mereka berhak mendapatkan siksa yang besar. Di antara manusia ada segolongan orang yang berkata, “Aku telah beriman kepada Allah dan hari akhir.” Padahal mereka itu tidak beriman. Mereka telah memperdayai Allah, dan orang-orang yang beriman. Sesungguhnya mereka itu tidak memperdayai kecuali memperdayai diri mereka sendiri, sedangkan mereka ini tidak merasa (demikian).”Allah Ta’ala menjelaskan posisi manusia-manusia yang ingkar kepada-Nya. Kelompok pertama di antara mereka ini disebut sebagai golongan Asyqiya’, yaitu mereka yang mendapatkan apa yang disebut dengan Qahrul Ilahi (kediktatoran Ilahi). Mereka ini tidak bisa diselamatkan melalui peringatan, bahkan tak ada jalan lain untuk membersihkan mereka dari neraka.Mereka itulah yang mendapatkan terpaan Kalimat Tuhan, bahwa mereka tidak bisa beriman. Sebagaimana orang-orang kafir yang mendapatkan cap sebagai penghuni neraka. Jalan-jalan kebajikan ditutup untuk mereka, serta pintu-pintu Tuhan ditutup untuk mereka.Sebab hati adalah elemen perasa yang mampu menyentuh Perasaaan Ilahi yang menjadi wahana bersamayamnya Ilham. Lalu Allah menghijab mereka melalui tanda-Nya. Sementara indera pendengar dan penglihatan merupakan indera yang bersifat manusiawi. Keduanya merupakan instrumen untuk memahami obyek dan subyek. Namun kedua instrumen itu pun tertutup, sehingga tidak mengalir dalam hati, hingga tidak mampu menyingkap kedalaman batin, yaitu Dzauqul Kasyfi (rasa keterbukaan jiwa), sementara secara empirik tidak mampu memahami gejala-gejala ilmiah eksperimental. Mereka itu dipenjara dalam penjara kegelapan, dan betapa dahsyatnya siksa yang menimpa mereka seperti itu.Kelompok kedua, adalah golongan yang disebutkan, “Di antara golongan manusia ada yang berkata, “Kami telah beriman...dst.” yaitu Asyqiya’ kedua. Mereka telah dicabut imannya karena mengaku telah beriman. Padahal tempatnya iman itu di dalam hati, bukan dalam ucapan. Dalam ayat lain disebutkan, “Katakanlah: Kalian belum beriman, namun katakanlah, “Kami telah Islam, dan iman tidak masuk dalam hatinya.”Makna dari ucapan mereka, “Kami telah beriman kepada Allah dan hari akhir...” adalah bentuk pengakuan atas Tauhid dan hari akhir, keduanya merupakan dasar dan prinsip agama. Mereka mengaku bahwa dirinya tidak terhijabi oleh kebenaran.Perlu direnungkan lebih dalam bahwa Kufur itu merupakan penghijaban dan hijab itu sendiri. Bentuk penghijaban itu adakalanya terhijab dari kebenaran sebagaimana menimpa kaum musyrikin, tetapi juga terhijab dari agama, sebagaimana yang menimpa kaum Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani). Orang yang terhijabi dari kebenaran berarti terhijabi dari agama, yang merupakan jalan yang tak bisa diganggu gugat. Orang yang terhijabi dalam memahami agama, tidak tentu, mereka itu terhijabi dari kebenaran. Mereka itu mengaku telah mampu menyingkapkan tirai kebenaran itu, namun mereka sebenarnya dusta karena imannya telah tercerabut dari hatinya.Mereka telah memperdayai diri mereka sendiri dari dua sisi sekaligus. Yaitu menyatakan kebajikan secara lahiriah, tetapi menyimpan kejahatan secara batiniah. Di samping mereka melakukan pengkhianatan terhadap Allah dan Rasul-Nya.Memperdayai Allah dan memperdayai Rasul-Nya adalah suatu kehancuran jiwa yang luar biasa. Di sinilah awal dari kemunafikan yang sangat destruktif bagi setiap manusia. Kalau mereka melakukan atau mengibarkan bendera Islam, bendera iman, bahkan mereka menyatakan dirinya beriman, sementara jiwanya adalah penuh dengan pengkhianatan terhadap agama Allah dan kebenaran itu sendiri, berarti mereka telah membangun suatu rekayasa pembusukan dari dalam.Dalam konteks dewasa ini, fakta-fakta ayat di atas masih tersebar di mana-mana. Banyak pihak yang seringkali mengatasnamakan Islam, mengatasnamakan Allah, bahkan menggunakan simbol-simbol Islam, kenyataannya hati mereka penuh dengan kekufuran, kebusukan dan pengkhianatan.

TAFSIR SURAH AL-BAQARAH AYAT 3-5

Oleh: Syaikh Al-Akbar Muhyiddin Ibn Arabi [Mursyid Thariqah Al-Ahadiyyah]
Mereka yang berbahagia !" Yaitu orang-orang yang beriman dengan ghaib, dan menegakkan shalat, dan dari rizki yang telah Kami berikan, mereka memberikan infaq "" Dan orang-orang yang beriman dengan apa yang telah diturunkan kepadamu dan apa yang telah diturunkan sebelummu, dan mereka itu yakin benar kepada akhirat "" Mereka itulah orang-orang yang diberi petunjuk dari Tuhan mereka dan mereka itulah orang-orang yang mendapatkan kemenangan "Orang-orang yang beriman terhadap yang ghaib dan menegakkan shalat, maksudnya adalah apa yang ghaib dalam keimanan mereka yang bersifat tradisional (at-Taqlidi) dan bersifat ilmiah esensial (at-Tahqiqi al-‘Ilmi). Iman itu pun terbagi dua, Iman Taqlidi dan Iman Ilmi Tahqiqi.Imam Tahqiqy juga dibagi dua: Bersifat Istidlali, yaitu menggunakan pembuktian aksiomatika, dan berikutnya bersifat Kasyfi, yaitu melalui pencerahan jiwa. Kedua-duanya berpijak pada garis pengetahuan dan keghaiban.Iman Taqlidi adalah keyakinan yang kelak disebut dengan Ilmul Yaqin. Sedangkan Iman Ilmi Tahqiqi, disebut penyaksian nyata atas keyakinan tersebut, yang disebut dengan ‘Ainul Yaqin. Sementara yang bersifat Iman Haqqi, adalah Penyaksian Dzat (asy-Syuhud adz-Dzati), yang disebut dengan Haqqul Yaqin.‘Ainul Yaqin dan Haqqul Yaqin, bukan tergolong Iman pada yang ghaib. Iman pada yang ghaib mendorong keharusan pada amal-amal yang bersifat kalbu, yaitu pembersihan jiwa (tazkiyah). Yakni mensucikan hati dari kecenderungan pada kebahagiaan fisik, eksoterikal yang melupakan kebahagiaan abadi.Kebahagiaan itu sendiri ada tiga, bersifat kekalbuan, bersifat kefisikan (jasad), dan uang lingkup seputar badan.Yang bersifat kekalbuan yaitu ma’rifat-ma’rifat dan hikmah, kesempurnaan ilmiyah dan amaliyah serta akhlaq. Sedangkan yang bersifat badaniah (kefisikan) adalah kesehatan dan kekuatan, kenimatan-kenikmatan fisik dan kesenangan-kesenangan alami.Sementara yang berada di ruang lingkup badan adalah harta-harta dan ikhtiar, seperti ucapan Amirul Mu’minin as, “Ingatlah, di antara sebagian nikmat itu adalah kemudahan harta. Yang lebih utama lagi dibanding harta adalah kesehatan badan yang bisa menguatkan jiwa.”Tentu dua nikmat pertama di atas harus dijaga agar terjadi kelangsungan penjagaan pada yang ketiga yang diraihnya, melalui zuhud dan ibadah.Menegakkan shalat adalah meninggalkan urusan badaniah dan kepayahan fisik, yaitu yang disebut sebagai induk ibadah, di mana amaliyah tersebut menjadi prioritas utama dibanding lainnya.Shalat sendiri bisa mencegah perbuatan keji dan mungkar, karena shalat merupakan beban badan dan nafsu, sekaligus menekan pada fisik dan nafsu itu sendiri. Sedangkan menafkahkan harta yang telah diberikan oleh Allah berarti berpaling dari sekadar kebahagiaan eksoteris yang disenangi nafsu, melalui zuhud. Sebab infaq itu kadang-kadang lebih berat ketimbang pencurahan ruh, karena adanya tekanan terhadap sikap kikir.“ Dan dari rizki yang telah Kami berikan kepada mereka, mereka memberikan infaq ”Dengan demikian hati terbiasa untuk meninggalkan sikap berlebihan materi, melalui sikap derma, murah dan memberikan harta berkali-kali., melakukan hibah, sedekah, selain yang wajib, agar mampu menekan sikap kikir tadi.Infaq tersebut dianjurkan pada bentuk sebagian harta, dengan tujuan agar seseorang tidak mengobral hartanya, dengan memberikan yang secukupnya., agar keutamaan sikap derma tadi tidak terhalangi. Sebab derma itu merupakan bagian dari salah satu Akhlak Allah." Dan orang-orang yang beriman terhadap apa yang telah diturunkan kepadamu dan apa yang diturunkan sebelum kamu "Maksudnya adalah Iman Tahqiqi yang terbagi dalam tiga hal di atas, yang bisa mendisiplinkan amal kekalbuan, yaitu berias diri dengan akhlak, menggelar hati melalui hikmah dan pengetahuan yang telah diturunkan dalam kitab-kitab Ilahiyah, di samping ilmu-ilmu yang berhubungan dengan hari akhir dan perkara akhirat, serta hakikat-hakikat ilmu al-Quds. Dan karena itulah Dia berfirman:“ Dan mereka yakin dengan akhirat ”Mereka yang beriman pada akhirat adalah mereka yang tidak melampaui batas penyucian dan tidak sampai pada periasan jiwa yang menjadi buahnya, sebagaimana sabda Nabi saw. “Siapa yang mengamalkan ilmunya, Allah akan mewarisi pengetahuan yang tidak pernah diketahuinya.”Sedangkan Ahlullah yang yakin secara keseluruhan adalah mereka yang senantiasa terbimbing petunjuk Tuhan mereka, kadang tertuju kepada-Nya, kadang pada rumah-Nya, yaitu rumah keselamatan, keanugerahan, pahala dan kelembutan. Merekalah disebut hari kemenangan. Bukan kaklangan lain, seperti kalangan tersiksa atau terhijabi dengan Allah.Allah selanjutnya berfirman: “ Mereka itulah orang-orang yang mendapatkan kemenangan ”

TAFSIR SURAH AL-BAQARAH AYAT 1-2

Oleh: Syaikh Al-Akbar Muhyiddin Ibn Arabi [Mursyid Thariqah Al-Ahadiyyah]

" Alif Itulah Al-Kitab... ""Alif Laam Miim""Itulah Kitab (Al-Qur’an) tiada keraguan di dalamnya, sebagai petunjuk bagi orang-orangyang bertaqwa"Tiga huruf pada “Alif” “Laam”, dan “Mim”, menunjukkan pada seluruh wujud secara universal. Sebab Alif, menunjukkan pada Dzat yang menjadi awal wujud. Sedangkan Laam, menunjukkan pada akal aktual yang disebut lain dengan Jibril, yang lebih luas wujudnya, dimana, kelak melimpah dan awal hingga akhir. Sedangkan Mim, adalah menunjukkan Muhammad yang mempakan akhir wujud yang menyempumakan lingkaran wujud itu sendiri dengan mempertemukan pada awal wujud. Karena itu beliau menegaskan, “Sesungguhnya zaman itu berputar sebagaimana hari dimana Allah mencipta langit dan bumi.”Sebagian ulama salaf mengatakan, bahwa Laam disusun dari dua Alif, yakni, diposisikansebagai “pakaian” Dzat, disertai sifat ilmu yang kedua-duanya mempakan dua alam dan tiga alam ilahi tersebut. Yaitu sebagai salah satu Nama dari Nama-namaAllah Ta’ala, sebab setiap Nama merupakan konotasi dari Dzat dengan Sifat-sifat mana pun.Sedangkan Mim mempakan isyarat pada Dzat dengan seluruh Sifat yang ada, dan menunjukkan Af’al yang tertutupi oleh Sifat dalam rupa Muhammadiyah yang merupakan Nama Allah Yang Agung, yang tidak diketahui kecuali oleh orang yang mengetahuinya.Perlu dimengerti bahwa Mim yang merupakan gambaran Dzat, bagaimana bisa tersembunyi di dalamnya? Di dalam Mim sendiri ada huruf Yaa’, dan di dalam Yaa’ ada Alif dan rahasia di dalam kedudukan huruf hijaiyah, yaitu bahwa tak akan pernah ada huruf melainkan di dalamnya ada Alifnya. Dalam konteks tersebut hampir berekatan dengan penafsiran seorang ulama yang mengatakan, “Artinya adalah bersumpah dengan Nama Allah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. Sebab Jibril adalah manifestasi dan Sifat llmu, sehingga namanya Al-ilmu. Sedangkan Muhammad adalah manifestasi dari Hikmah sehingga namanya Al-Hakim.Dari sanalah kemudian ada yang mengatakan, bahwa di bawah setiap Nama dari Nama-nama Allah Ta’ala ada sejumlah Nama tanpa terhingga. Ilmu itu sendiri tidak akan pernah sempurna dan tidak penuh, kecuali jika disertai dengan tindakan dalam Alam Hikmah,yang merupakan Alam sebab akibat, yang kelak memunculkan hikmah. Karena itu, Islam tidak akan sempurna hanya dengan kalimat Laa Ilaaha Illallah, melainkan harus disertai dengan Muhammadur Rasulullah. “Tidak ada keraguan di dalamnya, sebagaipetunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa. ““Laa Raiba Fiih”, menurut hakikatnya bahwa Al-Qur’an adalah benar. Sedangkan menurut pertimbangan kata, artinya bersama kebenaran, yang merupakan keseluruhan hakiki itu sendiri. Karena Al-Qur’an menjelaskan terhadap Kitab yang dijanjikan pada para Nabi, dan didalam Kitab-kitab mereka itu, bahwa Kitab itu memang mau diturunkan, sebagaimana ucapan Nabi Isa as, “Kami bakal membawa untuk kamu sekalian dengan Kitab yang diturunkan. Sedangkan Takwilnya akan datang bersama Al-Mahdy di akhir zaman.”“Hudan lil Muttaqien”. Maksudnya sebagai petunjuk dalam dirinya, bagi orang-orang yang takut terhadap kehinaan-kehinaan dan hijab yang menghalangi untuk menerima kebenaran di dalamnya.Dari segi akibat perbuatannya, manusia itu terdiri dan tujuh kelompok, karena diantara mereka ada yang masuk kelompok orang-orang yang bahagia dan orang-orang yang celaka, sebagaimana firman Allah swt: “Diantara mereka ada yang bahagia ada pula yang celaka.”Orang-orang yang celaka masuk dalam Ashabusy Syimaal. Sedangkan yang bahagia masukdalamAshabulYamm. Sedangkan As-Saabiquunal Awwaluim, sebagaimana firmanNya: “Dan kamu sekalian adalah berpasang-pasang tiga”.Sementara Ashabusy Syimaal, ada yang terlempar, yaitu mereka yang sudah terpatri oleh ketentuan binasa, yaitu pelaku kedzaliman dan kegelapan, serta terkena hijab secara menyeluruh, yang sudah disejak zaman Azali, seperti dalam firnianNya, “Seseungguhnya Kami telah menyiap-kan neraka Jahanam bagi banyak manusia dan jin.”Dalam hadits Rabbany, disebutkan, “Mereka Kujadikan untuk menghuni neraka, dan Aku tidak peduli.”Narnun diantara kelompok ini ada golongan munafik yang sebenarnya masih ada peluang menerima pencerahan cahaya menurut fitrah dan semangat hati.Orang-orang yang bertaqwa dimaksud dalam ayat tersebut adalah mereka yang secara lahir maupun batin menjalankan esensi ketaqwaannya. Dalam ayat lain misalnya disebutkan “Ittaqullah fis Sirr wal-‘Alan” (Takwalah kepada Allah dalam dzahir dan sirr batin anda).Posisi Sirr adalah kedalaman batin yang merupakan puncak dan rasa ubudiyah. Sirr itulah yang merupakan rahasia ruh, dimana posisinya di atas ruh.Ketaqwaan yang dalam itu berarti sirnanya hijab antara hamba dengan Allah, sementara sang hamba tidak mengabaikan sama sekali perintah-perintah syari’at yang merupakan ibadah atau praktek ketakwaan dzahir.

TAFSIR SURAH AL-FATIHAH AYAT 6-7

Oleh: Syaikh Al-Akbar Muhyiddin Ibn Arabi [Mursyid Thariqah Al-Ahadiyyah]

Jalan Yang Lurus Itu………“Tunjukkanlah kami kejalan yang lurus. Jalannya orang-orang yang telah Engkau beri nikmat”Maksudnya tetapkanlah kami ke jalan hidayah, dan tempatkanlah kami dalam istiqamah dijalan kesatuan (wahdah).Jalan istiqamah di dalam kesatuan (wahdah) adalah jalan orang-orang yang dilimpahi nikmat dan karunia Allah melalui kenikmatan tertentu yang sangat khusus, yaitu nikmat rahimiyyah (nikmat Allah di akhirat) atau nikmat kasih sayang, yaitu nikmat ma ‘rifat dari nikmat mahabbah.Sedangkan keteguhan hidayah itu adalah hidayah hakiki dan bersifat substantif yang diberikan pada para nabi dan syuhada, shiddiqin dan auliya, yaitu mereka yang menyaksikan-Nya pada Yang Maha Awal dari MahaAkhir, Dhahir dan Bathin, di mana mereka telah sirna dalam penyaksiannya dengan munculnya Wajah Yang Abadi dari segala wujud pandang yang fana’ atau sirna.Jalan inilah yang ditempuh para sufi. Jalan hakikat. jalan “menyatu” dengan Allah, yang diteguhkan oleh kenyataan dan kebenaran, bahwa yang ada hanyalah Allah, yang abadi hanyalah Wajah Allah, dan segala hal selain Allah adalah batil dan hancur.Jalan menuju kepada Allah, sebagaimana terlimpahkan kepada para nabi dan rasul, wali dan syuhada yang senantiasa menyaksikan Allah di mana-mana dan tidak di mana-mana. .Penyaksian ubudiyah hamba terhadap Rububiyahnya Allah. Respon yang interaktif dan terus-menerus serta tidak putus dengan-Nya, yang kelak sirna dan tenggelam dalam samudera ma‘rifah dan mahabbah.Mereka yang telah menyaksikan Yang Maha Awal dan Yang Maha Akhir, Maha Dhahir dan Maha Bathin adalah cermin dari sikap kepasrahan total hamba-Nya. Sebagaimana dinyatakan oleh Sulthanul Auliya Syeikh Abul Hasan Asy-Syadzily:"Iman adalah engkau bersaksi bahwa keawalan hamba bersama ke-Awalan-Nya, keakhiran hamba bersama ke-Akhiran-Nya, kedhahiranmu bersama ke-Dhahiran-Nya dan bathiniyahmu bersama ke-Bathinan-Nya."“Bukan jalannya orang-orang yang dimurkai”Orang-orang yang dimurkai di sini adalah mereka yang senantiasa terpaku pada dunia empiris, dunia eksoterik, dan bahkan mereka terhijab oleh nikmat duniawi dan nikmat jasmani. Mereka mendapatkan rasa terdalarnnya melalui rasa fisik,jauh dari rasa ruhani yang hakiki, jauh dari kenikmatan kalbu dan kenikmatan akal, sebagaimana dirasakan orang-orang Yahudi, karena dakwah mereka hanya terpaku pada hal-hal empirik (lahiriah) dan kenikmatan syurgawi belaka,janji-janji tentang bidanari dan istana, sehingga mereka mendapatkan kemurkaan Allah. Amarah dan murka itulah yang menyebabkan mereka terlempar jauh, dan akhimya hanya bersiteguh dengan hal-hal yang tampak fenomenal belaka. Padahal itu semua merupakan hijab kegelapan yang menyeramkan, yang begitu curam dan jauh.“Bukan pula jalannya orang-orang yang tersesat”Orang-orang yang tersesat di sini, secara sufistik adalah mereka yang berteguh dalam dunia kebathinan, yang sesungguhnya adalah hijab yang bersifat kecahayaan. Mereka terhijabkan oleh nikmat keakhiratan, dan terjauhkan dari nikmat keduniaan. Lalu mereka alpa akan sifat Dhahirnya Allah, dan mereka tersesat dari jalan yang lurus.Mereka tertutupi oleh penyaksian Kemahaindahan Sang Kekasih secara keseluruhan, sebagaimana dialami kaum Nashrani. Karena dakwah mereka hanya kepada hal-hal kebathinan saja, mengajak tenggelam ke alam cahaya kegelapan.Sedangkan dakwah Nabi Muhammad SAW adalah dakwah secara menyeluruh, dhahir dan bathin. Yaitu dakwah yang integratif dan universal antara mahabbah Kamahaindahan Dzat dan Kebajikan Sifat-sifat sebagaimana terdapat dalam Al-Qur’ an:“Bersegeralah pada ampunan dari Tuhanmu, dan syurga. “Suatu dakwah yang senantiasa tidak memihak antara satu dengan yang lain, dhahir dan bathin.Karena itu, misi Rasul selain bersifat perjuangan membebaskan diri dari belenggu empirisme juga bebas dari hijab spiritualisme. Yang berarti bagaimana konsentrasi pada Wajah Ilahi, sehingga menimbulkan interaksi horisontal dan sekaligus vertikal.Kita senantiasa berdoa agar diri kita tidak terjebak oleh kesesatan lahiriah dengan segala titik pandangnya, termasuk cara memandang terhadap ajaran keagamaan yang hanya terpaku pada konteks lahiriahnya tekstualisme. Tetapi kita juga jangan sampai terjebak oleh kecahayaan ruhani yang mempesona, yang melenakan pada tujuan utama kita, yaitu menuju kepada Allah. Di sinilah integrasi antara syari’at dengan hakikat melalui tarekat sufi.Syari’at adalah bentuk cara kita menyembah kepada Allah, sedangkan tarekat adalah cara kita menuju kepada Allah. Sementara hakikat adalah bagaimana kita menyaksikan Allah.

TAFSIR SURAH AL-FATIHAH AYAT 4-5

Oleh: Syaikh Al-Akbar Muhyiddin Ibn Arabi [Mursyid Thariqah Al-Ahadiyyah]

"Hanya kepada-Mu kami menyembah""Dan hanya kepada-Mu kami mohon pertolongan"Ayat pertama merupakan ayat “pertemuan antara Allah dengan hamba-Nya”. Jika pada ayat-ayat sebelumnya Allah SWT. berbicara tentang dirinya sendiri, maka pada ayat inilah terjadi suatu sinergi ubudiyah hamba Allah kepada-Nya. Tetapi menurut Hujjatul Islam Imam AI-Ghazali dalam kitabnya Jawahirul Qur’an, seluruh kandungan Al-Fatihah ini, masuk kategori ayat-ayat Jawahir.Ayat-ayat Jawahir adalah ayat-ayat Mutiara, di mana muatannya mengandung nilai-nilai Uluhiyah yang sangat tinggi. Sementara ayat-ayat Durar atau ayat-ayat permata, lebih merupakan ayat yang berkait dengan makhluk Allah SWT.“Iyyaaka Na‘budu” dalam perspektif sufistik merupakan bentuk ubudiyah hamba Allah dalam situasi “Al-Fana”. Situasi di mana hamba Allah lebur dalam nuansa, seakan-akan dirinya hangus dalam Ilahi, tiada daya, tiada upaya, tiada sesuatu yang dihadapi lahir maupun batin, kecuali Allah SWT.Ayat ini memberikan gambaran akan Kemahatunggalan Allah, sehingga manusia bebas dari kemusyrikan.Dalam kitab Fathur-Rahman disebutkan, "Sesungguhnya kalian semua berada dalam kemusyrikan tersembunyi, kecuali jika dirimu keluar dari dirimu, Sehingga tiada yang berbuat, tiada yang berdaya, tiada yang berupaya, kecuali Allah SWT. Itu sendiri."Seorang sufi berkata, “Hakikatmu adalah keluarmu darimu”, Wacana ini untuk menggambarkan betapa manusia hanyalah “Bayang-bayang Allah”, tidak ada klaim bahwa dirinya ada dalam hakikatnya.Pandangan ini berbeda dengan aliran eksistensialisme yang menonjolkan kekuatan diri manusia bagi eksplorasi kehidupan maksimal. Semakin kuat dirinya, rasa keberadaannya, semakin kuat egonya dan pengabaiannya terhadap dzat di luar dirinya, yaitu Allah SWT. “Iyyaaka Na’budu” berarti hanya kepada-Mu kami menyembah. Menyembah kepada Allah secara total berarti makrifat kepada Allah. Oleh sebab itu, ketika menafsiri ayat yang berbunyi: “Wamaa khalaqtul Jinna wal-Insa illa liya’budun", seorang penafsir sufi mengatakan, “Maksudnya illaa liya’rifuun “. Sehingga penafsirannya, “Dan tidak Kuciptakan jin dan manusia, melainkan agar mereka bermakrifat kepada-Ku “.Makrifatullah itulah yang diajarkan Rasulullah SAW, melalui etika ubudiyah dan keyakinannya kepada Allah melalui jalan Islam, Iman dan Ihsan.Sedangkan “wa-iyyaaka nasta’iin, “berarti sang hamba lebur dalam Musyahadah kepada Allah SWT. Di sinilah Abu Yazid Al-Busthami menyebutkannya sebagai “wahdatusy-syuhud”, bukan“wahdatul wujud”. Wahdatusy-syuhud, yang berarti “kesatuan dalam penyaksian”. Yang bersatu adalah penyaksiannya, bukan wujudnya. Atau bisa berarti “seakan-akan bersatu”.Inilah maqam Ihsan, sebagai puncak ubudiyah, yang kelak disebut ‘abudah. Maqam Ihsan ini bisa disebut sebagai pangkal dari kefanaan hamba Allah, yaitu setelah melampaui fana’,fanaul fana’ kemudian baqa’.Dalam Hadits Shahih Rasulullah SAw. bersabda, “Ihsan adalah hendaknya engkau menyembah kepada Allah seakan-akan engkau melihal-Nya, jika tidak melihal-Nya engkau senantiasa dilihal oleh-Nya. “Hamba Allah yang melihal Allah, pasti dirinya fana’ dan hanya Allah saja yang baqa’ (abadi). Hal yang sarna hamba Allah yang senantiasa rnerasa dilihal Allah, dirinya tidak “berkutik”. Gerakgeriknya bukan lagi gerak-gerik “milik”nya, tetapi tidak lepas dari peran Allah SWT.Pada ayat di atas itulah ada relevansi dengan Hadits Qudsi yang disebutkan oleh Allah SWT.,“...Apabila Aku mencintainya (hamba-Ku), maka Aku adalah pendengarannya yang dia mendengarkannya, dan Aku adalah penglihalannya yang dengannya hamba-Ku melihalnya, dan Aku adalah tangannya yang dengan tangan itu hambaKu memukul, serta Aku adalah kakinya yang dengan kaki itu ia berjalan. Jika ia memohonAku mengabulkannya, dan jika ia meminta perlindungan, niscaya Aku melindunginya”…

TAFSIR SURAH AL-FATIHAH AYAT 1-3

Oleh: Syaikh Al-Akbar Muhyiddin Ibn Arabi [Mursyid Thariqah Al-Ahadiyyah]

"Segala puji hanya bagi Allah, Tuhan semesta alam""Yang Maha Pengasih Lagi Maha Pemurah""Yang menjadi Raja di hari agama"“Alhamd” (Puji) baik secara aktual maupun verbal adalah bentuk dari manifestasi keparipurnaan dan suksesnya suatu tujuan, dari segala yang ada. Sebab Hamdalah itu merupakan bentuk dari pujian pembuka, sekaligus merupakan pujian indah bagi yang berhak mendapatkannya.Segala yang maujud ini secara keseluruhan merupakan keistemewaan dan kekhasan, disamping semuanya berorientasi pada tujuan dari pujian itu sendiri. Seluruh keparipumaan muncul dari potensi-potensi menjadi aktual, dan semuanya senantiasa menyucikan dan memuji-Nya. Sebagaimana dalam firman Allah swt:“Tak satu pun dari segala yang ada kecuali selalu bertasbih dan memuji-Nya”.Bentuk tasbihnya adalah penyuciannya dari dualitas, dari sifat-sifat yang kurang dan lemah, dengan hanya menyandarkan kepada-Nya saja, memberikan petunjuk atas Ketunggalan dan Kekuasaan-Nya. Bentuk dari pujian jagad raya ini adalah penampakan keparipurnaannya pada struktur jagad secara tertib ini, kemudian memanifestasi pada sifat-sifat Jalaliyah (Keagungan dan kebesaran) dan sifat-sifat Jamaliyah (Keindahan).Jagad raya senantiasa memiliki kesadaran darimana awal mulanya, bagaimana penjagaan atas kelestariannya dan pengaturannya, sebagai cermin konotatif dari arti hakiki Rububiyah bagi semesta alam. Yakni bagi segala sesuatu yang terkandung dalam Ilmu Allah. Seperti sebuah tanda bagi yang ditandai, Juga mengandung makna globalitas keselamatan yang penuh karena mengandung arti Ilmu dan sekaligus mengandung makna mengalahkan. Yang terkandung itu juga berarti kebajikan-kebajikan yang umum maupun khusus. Yaitu nikmat lahiriyah maupun nikmat batiniyah. Nikmat lahiriyah seperti kesehalan dan rizki, sedangkan nikmat batiniyah seperti pengetahuan dan ma’rifat.Dari segi pengertian totalitasnya adalah makna dari sifat Diraja bagi segala sesuatu yang ada di hari akhir. Sebab tidak ada yang memberikan batasan kecuali Dzat Yang Disembah, dengan pahala nikmat abadi,jauh dari kefanaan di saat zuhudnya hamba, dan ketika Af’al Allah Tajalli saat af’al hamba sirna, penggantian sifat hamba oleh sifat Nya ketika hamba dalam kondisi keterhangusan, secara otomatis pengabadian melalui Dzat-Nya, dianugerahkan wujud hakiki ketika dalam kefanaan hamba.Maka pujian dengan segala substansinya itu mutlak hanya bagi Allah Ta’ ala, secara azali maupun abadi menurut proporsi hak hamba melalui Dzat-Nya.Jika digambarkan permulaan dan akhir dari tujuan, serta unsur diantara awal dan akhir dalam ungkapan tahapan Al-Jam’u (terglobalisir), maka bisa diurai sebagai berikut: Bahwa Allah itu adalah Yang Memuji, dan Yang dipuji, baik dari segi terglobalisir maupun terinci. Abid dan Ma ‘bud juga demikian, awal sekaligus akhir.Ketika Allah ber-tajalli terhadap hamba-Nya dalam kalam-Nya, melalui Sifat-sifat-Nya, maka sang hamba menyaksikan-Nya dengan penuh keagungan dan kharisma-Nya, para hamba menyaksikan keparipurnaan kuasa-Nya dan kebesaranNya. Lalu para hamba itu berbicara kepada-Nya baik melalui ucapan maupun tindakan melalui bentuk ibadah terhadap-Nya. Lalu mereka meminta pertolongan kepada-Nya, sebab tak ada yang lain untuk disembah kecuali hanya Dia. Tak ada upaya dan daya kekuatan bagi seorang pun kecuali atas izin-Nya. Maka seandainya para hamba itu mampu hadir (di hadiratnya) niscaya gerak dan diamnya pun merupakan ibadah bagi-Nya dim bersamaNya. Mereka dalam shalat-shalatnya senantiasa langgeng, mendoa dengan lisan cinta atas penyaksian mereka pada Kemahaindah-Nya, dari sisi mana saja dan dimana pun mereka berhadap.