Rabu, 22 Agustus 2007

TAFSIR MA'RIFATULLAH SURAH AN-NAS [114]: AYAT 1-6

Oleh: Syaikh Al-Akbar Muhyiddin Ibn Arabi[1]

1. Katakanlah: "Aku berlidung kepada Tuhan (yang memelihara dan menguasai) manusia.
2. Raja manusia.
3. Sembahan manusia.
4. Dari kejahatan (bisikan) syaitan yang biasa bersembunyi,
5. Yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia,
6. Dari (golongan) jin dan manusia.

Qul a’ûdzu birobbinnâs, katakanlah aku berlindung kepada Tuhan manusia. Yang dimaksud dengan Tuhan manusia adalah Dzat berikut seluruh sifat-Nya, kenapa Tuhan manusia? Karena manusia sesungguhnya adalah makhluk yang mencakup seluruh tingkatan wujud. Ini berarti bahwa Tuhan pencipta manusiapun. Adalah Dzat berikut seluruh nama-nama yang menjadi pangkal seluruh ciptaan, dzat berikut seluruh nama itu diungkapkan dengan nama Allah karena itu Allah berkata kepada Iblis “Apa yang membuatmu enggan bersujud dengan apa yang aku ciptakan dengan kedua tanganku?”. Yang dimaksud dengan kedua tanganku adalah dengan sifat-sifat yang saling berlawanan. Seperti sifat kelembutan dengan kemurkaan, sifat keindahan dengan keagungan, yang kedua-duanya meliputi nama-nama Tuhan itu. Allah memerintahkan agar berlindung dengan Wajah-Nya [Liqa’ Allah], setelah berlindung dengan sifat-sifat-Nya. Karena itu surah ini diletakkan setelah surah Al-Falaq. Sebab di dalam surah al-mu’awwidah pertama, nabi memohon perlindungan di dalam maqam sifat dengan namanya yang maha pemberi petunjuk (Al-Hadi), lalu Allah menunjukinya kea rah dzat-Nya.

Kemudian Allah menjelaskan kata Tuhan manusia (Rabb An-Nas) dengan kata raja manusia (Maliki Al-Nas) yang terdapat dalam ayat 2. Ini menunjukkan bahwa kata kedua sebenarnya adalah penjelas (athaf bayan) bagi kata pertama, karena yang namanya raja adalah dialah yang menguasai nama dan urusan-urusan mereka dilihat dari segi kefanaan. Mereka di dalam Tuhan. Ini dijelaskan oleh firman-Nya kepunyaan siapakah kerajaan hari ini?. Kepunyaan Allah yang Maha Esa dan perkasa. Sebab raja pada hakikatnya adalah yang Esa dan Perkasa yang menguasai segala wujud sesuatu, kemudian menyayanginya.

Ilahinnas (sembahan manusia), ayat ini untuk menjelaskan keadaan baqa’ mereka setelah fana’, karena kata ilah (tuhan) adalah yang disembah secara mutlak. Itulah dzat berikut seluruh sifatnya, dilihat dari sudut pandang akhir perjalanan nabi Saw. Nabi berlindung dengan sisi mutlak Tuhan, lalu Dia fana’ di dalamnya. Dan tampaklah Dia sebagai Raja, kemudian Tuhan mengembalikan Nabi kepada wujud semula untuk menyembahnya. Sehingga Tuhan selamanya adalah yang disembah. Dengan demikian sempurnalah permohonan perlindungan Nabi kepada Tuhan.

Min syarril was wâsil khannâs (Dari kejahatan bisikan setan) ayat 4, sebab bisikan menuntut adanya tempat yang bersifat wujud seperti disebutkan dalam ayat selanjutnya yang membisikkan kejahatan ke dalam dada manusia (Al-Ladzî yuwaswisu fî shudûrinnâs) ayat ke 5. Sedangkan dalam keadaan fana’. Tidak ada wujud. Tidak ada dada, tidak ada bisikan, tidak ada pembisik, tetapi yang muncul di sana adalah ketergoyahan (talwin), karena adanya wujud egoisme. Karena itu katakanlah wahai Muhammad: Aku berlindung kepadamu darimu.Maka ketika Tuhan menjadi sembahan dengan adanya penyembah, maka setanpun muncul dengan munculnya penyembah, seperti halnya setan, pertama kali ada, karena adanya penyembah.

Kata al-was-was adalah kata benda (bisikkan). Sang pembisik (al-muwas-wis disebut bisikan) karena godaannya yang terus menerus sedemikian melekat godaan itu pada dirinya sehingga ia adalah bisikkan itu sendiri.Nabi memohon pertolongan dari bisikkan itu dengan kata ilah, Dan bukan dengan sebagian namanya seperti dalam surat al-mu’awwidah pertama (al-falaq), semata-mata karena setan bisa menentang yang maha Pengasih (Ar-rahman) serta menguasai seluruh bentuk manusiawi dan suka menjelma (dalam bentuk seluruh nama-nama Tuhan). Kecuali nama Allah. Nabi berlindung dari bisikkan itu tidak cukup dengan nama al-Hadi, Al-Alim, Al-Qadir dan sebagainya, melainkan langsung dengan ilah, yang mencakup Dzat berikut seluruh sifatnya. Jadi jika dalam surah Al-Falaq, nabi berlindung dengan Tuhan Penguasa subuh. Maka dalam surah An-Nas, beliau berlindung dengan Tuhan manusia. Dari sini bisa dipahami makna sabdanya, siap yang bermimpi bertemu denganku, maka benar-benar bertemu denganku, karena setan tidak bisa menjelma meneyerupaiku, artinya karena beliau telah sempurna berlindung dengan nama yang tidak bisa ditiru setan yakni nama Allah, maka setanpun tidak bisa menyerupai Nabi saw.

Al-Khannas (yang biasa bersembunyi-ayat 4). Jelasnya adalah yang kembali (setelah mundur). Sebab setan tidak bisa membisikkan kecuali kalau yang terbisik dalam keadaan lupa. Karena itu setiap kali seseorang sadar dan mengingat Allah, maka setanpun akan terpukul mundur, sebab kata khannas (yang seakar kata dengan khannas) adalah kata benda yang menunjukkan kebiasaan, seperti kata waswas juga. Dari Said bin jabir: ” Jika seorang manusia mengingat Tuhannya, maka setan akan terpukul mundur dan kabur, dan jika ia lupa maka setan kembali membisikkannya.” Kalimat ”dari jin dan manusia” (minal jinnati wa al-nas) adalah penjelas untuk kalimat ”yang membisikkan (kejahatan)”. Sebab sesungguhnya pembisik dari kalangan setan itu ada dua macam: pertama, tersembunyi dan tidak kasat mata seperti wahm; kedua: bersifat manusiawi, berbentuk manusia yang kasat mata, seperti individu-individu yang menyesatkan.

Celakanya, setan bisa menggoda dengan menjelma seperti orang yang memberi petunjuk dalam bentuk nama Al-Hadi. Ini misalnya terlukiskan dalam firman-Nya: Sesungguhnya engkau datang kepada Kami dari sebelah kanan. Karena itu ,terhadap setan yang menjelma dalam bentuk nama lainnya (selain Al-hadi dari nama-nama Tuhan),maka permohonan perlindungan dari setan itu tidaklah sempurna kecuali dengan nama Allah. Sebab Allahlah Yang Maha melindungi.
[1] Diterjemahkan oleh KH.Shohibul Faroji Al-Robbani dari Tafsir Al-Qur’an Al-Azhim Ibnu Arabi, Jilid 2

Tidak ada komentar: