Selasa, 28 Agustus 2007

STUDI ATAS KITAB MISYKAT AL-ANWAR AL-GHAZALI(PENAFSIRAN SUFI ATAS ‘AYAT CAHAYA’[AN-NUR: 35])

Oleh: KH.Shohibul Faroji Al-Robbani

A. Pendahuluan

Siapa yang tidak kenal al-Ghazali, ulama besar yang menyandang gelar Hujjat al-Islam ini. Kedalaman ilmunya, kecerdasan akalnya, kebeningan hatinya, serta ketajaman bashirah-nya tidak ada yang mempertanyakan lagi. Itu semua terbukti dari kekuatan pengaruhnya terhadap para ulama setelahnya, melalui murid-murid dan karya-karyanya sampai saat ini.

Karya-karya buah tangan Sang Hujjah ini, tidak hangus dimakan waktu dan tidak lekang ditelan zaman, ia tetap dibaca, dikaji, dan diamalkan serta dijadikan pegangan oleh umat Islam sampai sekarang. Sederet karyanya antara lain: al-Wajid, al-Maqashid, al-Tahafut, al-Iqtishad, al-Mustadhhiri, al-Mustasyfa, kimya al-Sa’adah, Minhaj al-‘Abidin, Mi’yar al-‘Ilm, Muhik al-Nadzar, al-Maksud al-Atsna, al-Ajwibat al-Muskitah, Mizan al-‘Amal, Jawahir al-Qur’an, al-Madzun, al-Munqidh min al-Dzolal, al-Risalah al-Ladunniyah, Misykat al-Anwar, dan magnum opus-nya yang paling terkenal Ihya’ ‘Ulum al-Din, serta masih banyak lagi karya-karya lainnya.

Dalam kesempatan ini penulis akan mencoba mengkaji salah satu dari karya al-Ghazali di atas, yaitu Misykat al-Anwar. Kitab ini berisi tafsiran al-Ghazali terhadap QS. Al-Nuur : 35, yang sering disebut-sebut sebagai “Ayat Cahaya” (ayat yang membahas tentang Allah sebagai cahaya langit dan bumi), sehingga kitab ini sering disebut “Tafsir Ayat Cahaya”.

Misykat al-Anwar diyakini sebagai satu-satunya karya al-Ghazali yang memaparkan doktrin esoterik beliau. Kitab ini membahas secara komprehensif dimensi-dimensi alam malakut (alam atas), sebuah kajian yang memungkinkan kita mengenal lebih dekat hakikat Allah, Pencipta dan Pengatur Seluruh Semesta.

Al-Ghazali membahas alam malakut melalui simbolisme cahaya. Cahaya ini hanya bisa tersingkap oleh para pemilik bashirah (mata hati). Cahaya-cahaya malakut ini memiliki tata urutan, yang sambung-menyambung dan siklusnya berakhir pada Sumber Pertama, Cahaya yang tidak bersandar pada cahaya lain, Cahaya yang Zat-Nya Sendiri menyinari seluruh cahaya, Cahaya di atas cahaya, itulah Allah SWT.

B. Penafsiran Al-Ghazali dalam Misykat al-Anwar

الله نور السماوات والأرض مثل نوره كمشكاة فيها مصباح المصباح في زجاجة الزجاجة كأنها كوكب دري يوقد من شجرة مباركة زيتونة لا شرقية ولا غربية يكاد زيتها يضيء ولو لم تمسسه نار نور على نور يهدي الله لنوره من يشاء ويضرب الله الأمثال للناس والله بكل شيء عليم

Artinya : “Allah adalah cahaya langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah adalah ibarat misykat yang di dalamnya terdapat pelita besar. Pelita itu di dalam kaca, dan kaca misykat itu bagaikan bintang yang bercahaya, seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur sesuatu, juga tidak di sebelah barat (nya). Yang minyaknya (saja) nyaris menerangi, walaupun tidak disentuh oleh api. Cahaya itu di atas segala cahaya. Allah membimbing kepada cahaya-Nya bagi siapa saja yang Dia kehendaki, dan membuat perumpamaan kepada manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-Nur, 24 : 35).

Dalam menafsirkan ayat tersebut di atas, pada pasal pertama kitab Misykat al-Anwar ini al-Ghazali memberikan penjelasan bahwa cahaya yang hakiki adalah Allah dan nama cahaya bagi selain-Nya adalah metafor (majazi) belaka dan tidak hakiki.

Sebelum menjelaskan hakikat cahaya ini, al-Ghazali pertama-tama membedakan makna cahaya menurut pemahaman awwam (umum), kalangan khawas (khusus), dan kalangan khawas al-khawas (khusus dari yang khusus). Karena menurutnya, cahaya itu memiliki tingkatan-tingkatan sesuai dengan pemahaman orangnya. Dengan mengetahui tingkatan itulah, menurutnya, akan terbuka dengan jelas bahwa Allah adalah cahaya yang Maha Tiggi dan paling jauh. Dan akan mengerti pula bahwa Dia adalah Hakikat Cahaya Kebenaran, dan itu satu-satunya cahaya, tidak ada sekutu bagi-Nya.

a. Cahaya menurut orang awam

Bagi mereka, cahaya adalah cahaya yang nampak dan yang terlihat oleh pandangan kasat mata (indera). Bagi mereka panca indera memiliki peranan yang sangat penting dan yang berlaku hanyalah daya tangkap indera manusiawi.

Benda yang bisa ditangkap oleh indera mata dibagi menjadi tiga : (1). Benda yang tidak tampak dengan sendirinya, seperti benda-benda gelap. (2). Benda yang tampak dengan sendirinya, tetapi tidak membuat benda lain kehihatan, seperti bintang-bintang dan zat api apabila tidak menyala, dan (3). Benda yang tampak dengan sendirinya dan dapat membuat benda lain terlihat, seperti matahari, bulan yang sedang memantulkan cahaya, dan api atau pelita yang menyala.

Dari ketiga poin di atas, yang dimaksud dengan cahaya adalah yang nomor ketiga. Dan secara global, cahaya adalah sesuatu yang dapat menjadikan benda lainnya tampak, seperti matahari.

b. Cahaya menurut kaum Khusus

Bagi mereka, cahaya adalah bukan saja apa yang dapat dilihat oleh mata, karena tangkapan penglihatan bergantung kepada cahaya, disamping ia harus dalam keadaan melihat. Walaupun ada cahaya, tapi kalau tidak bisa melihat seperti orang buta, maka tidak akan bisa melihat cahaya itu. Bagi kaum khusus ini, panca indera (mata) memiliki banyak kekurangan dan menurut mereka, ruh yang melihat sama (ruh bashirah) dengan cahaya yang nampak. Bahkan bisa dikatakan ruh memiliki posisi yang lebih tinggi dari pada cahaya. Sebab ia memiliki daya melihat, dan dengannya sesuatu bisa tampak, sementara cahaya sendiri tidak memiliki “daya tangkap penglihatan” dan juga tidak dapat menciptakannya.

c. Cahaya menurut Khawas al-khawas

Bagi golongan ini, istilah cahaya lebih tepat kalau dipakai untuk cahaya yang dapat memberikan daya penglihatan, bukan untuk sembarang cahaya. Maka ruh yang melihat (ruh bashirah) itulah yang disebut “cahaya”, karena ia memang lebih pantas menyandang istilah tersebut.

Dalam diri manusia terdapat mata yang memiliki sifat sempurna, yang tidak memiliki kekurangan seperti mata inderawi, yaitu yang disebut dengan “akal, ruh, atau jiwa” manusia. Mata inderawi memiliki 7 kekurangan, yaitu : 1). tidak bisa melihat dirinya, 2). tidak bisa melihat objek yang terlalu dekat dan terlalu jauh dengannya, 3). tidak bisa melihat benda di balik hijab, 4). Hanya bisa melihat bagian luar benda, tidak pada bagian dalamnya, 5). Hanya dapat melihat sebagian eksistensi, 6). Tidak mampu melihat cakrawala tanpa batas, dan 7). Melihat sesuatu yang besar tampak kecil. Semua itu relatif dapat dihindari oleh akal. Maka akal atau ruh lebih pantas disebut cahaya daripada mata kasat.

Walau akal pun kemudian sering ter-hijab (tertutup) oleh hayalan dan prasangka. Hingga pada saatnya tersingkap penutup itu dan terbukalah rahasia. Ketika itulah dikatakan kepadanya :
فكشفنا عنك غطاءك فبصرك اليوم حديد
“Dan telah kami singkap hijab (penutup) mu, maka penglihatanmu hari ini sangat tajam,” (QS. Qaf, 50 : 22).

Al-Qur’an adalah Pelita yang Menyinari Akal

Selanjutnya al-Ghazali, menjelaskan bahwa meskipun akal memiliki daya lihat, tetapi tidak berarti apa yang dilihatnya memiliki derajat yang sama. Sebagiannya ada yang terlihat layaknya suatu aksiomatis sebagaimana ilmu-ilmu eksakta. Dan ada juga yang tidak terjangkau oleh akal atau tidak sesuai dengan pengalaman akal. Sehingga akal perlu digerakkan, dirangsang, dan diberi perhatian seperti dalam masalah teori-teori. Pada titik ini, yang mampu memberikan hanyalah para hukama’, yaitu orang-orang yang memperoleh pancaran cahaya hikmah. Ketika seseorang mendapat pancaran cahaya hikmah, dia akan dapat melihat sesuatu secara otomatis karena kehendak-Nya. Dan hikmah terbesar di sini adalah Kalam Allah. Di antara kalam-Nya adalah al-Qur’an. Karenanya, posisi ayat-ayat al-Qur’an di mata akal seperti sinar matahari bagi kasat mata. Al-Qur’an adalah cahaya bagi akal, dan akal adalah cahaya bagi mata. Dengan kerangka inilah dipahami makna Firman Allah SWT:
فآمنوا بالله ورسوله والنور الذي أنزلنا والله بما تعملون خبير
Artinya : “Dan berimanlah kalian kepada Allah dan Rasul-Nya, dan kepada Nur (Cahaya) yang Kami turunkan.” (QS. Al-Taghabun, 64: 8).

Dan Firman-Nya :
يا أيها الناس قد جاءكم برهان من ربكم وأنزلنا إليكم نورا مبينا
Artinya : “Hai manusia, telah datang kepadamu bukti dari Tuhanmu dan Kami turunkan kepadamu cahaya yang terang.”(QS. Al-Nisa, 4: 174).


Alam Syahadah dan Alam Malakut

Kemudian al-Ghazali membedakan dua macam mata, mata inderawi dan mata batin. Mata inderawi ini adalah mata dhahir yang jangkauannya adalah alam yang bisa dirasa dan kasat mata, sementara mata batin adalan mata yang menjangkau alam malakut (alam malaikat). Kedua mata ini memiliki cahaya, yang dengannya kedua mata ini menjadi sempurna. Cahaya mata dhahir adalah matahari dan cahaya mata batin adalah al-Qur’an dan kitab-kitab Allah lainnya yang telah diturunkan.

Al-Ghazali membandingkan kedua alam ini (alam syahadah dan alam malakut) bagaikan kulit buah dengan isinya, seperti bentuk dengan ruhnya (esensinya), kegelapan dengan cahaya, atau yang rendah disandingkan dengan yang tinggi. Alam malakut juga sering disebut alam al-ulwi (atas), alam al-ruhani (alam ruhani), dan alam al-nuri (alam cahaya). Sementara alam syahadah sering disebut alam al-sufli (alam rendah), alam al-jismani (alam jasmani), dan alam al-dzulmani (alam kegelapan).

Pada dasarnya, manusia tergolong makhluk yang berada di alam rendah, akan tetapi ia dapat naik ke alam yang tinggi. Sedangkan malaikat adalah bagian dari alam malakut, mereka bergantung pada hadirat al-quds (hadirat kesucian Allah SWT), dan dari sana mereka menyinari alam rendah. Rasulullah SAW bersabda :
ان الله خلق الخلق فى ظلمة ثمّ افاض عليهم من نوره
Artinya : “Sesungguhnya Allah menciptakan makhluk-Nya dalam kegelapan, kemudian dia melimpahkan cahaya-Nya atas mereka.”

Juga dalam sabdanya yang lain :
لله ملائكة هم اعلم باعمال النّاس منهم
Artinya : “Sesungguhnya Allah SWT mempunyai malaikat, dimana para malaikat ini lebih mengetahui perbuatan manusia, daripada perbuatan mereka sendiri.”

Para Nabi, apabila telah naik dan mencapai alam malakut, berarti telah mencapai tingkat yang paling tinggi dan disana mereka dapat menyaksikan beberapa alam gaib, sebab dia telah berada di sisi Allah, yang di tangan-Nya terletak semua kunci kegaiban.

Al-Ghazali menjelaskan bahwa alam syahadah adalah miniatur dari alam malakut, ia adalah percikan bekas dari penciptaan alam malakut, seperti halnya bayangan dari fisik seseorang. Sehingga sesuatu yang bersumber dari yang lain, mestinya mempunyai kemiripan dengan aslinya, sedikit ataupun banyak. Barang siapa yang dapat menyingkap hakikat, niscaya dengan mudah akan mampu menyingkap perumpamaan yang ada dalam al-Qur’an.

Para Nabi dan Ulama adalah Pelita Allah

Seperti telah disebutkan semula bahwa sesuatu yang dapat menerangi dirinya, bahkan dapat menerangi yang lainnya, layaklah baginya disebut ‘cahaya’. Atau bahkan lebih tepat kalau ia disebut lentera yang menyinari (siraj al-munir), karena pancaran sinarnya pada yang lainnya. Dan keistimewaan ini terdapat pada al-ruh al-quds al-nabawi (ruh suci kenabian), yang melalui pancarannya terlimpah cahaya pengetahuan pada makhluk. Dengan demikian, dapat dimengerti kenapa Allah SWT menamakan Nabi Muhammad SAW sebagai siraj al-munir (lentera yang menyinari), yang juga diberikan kepada seluruh nabi dan para ulama (walaupun di antara mereka terdapat perbedaan).

Api Sumber Cahaya Bumi

Jika kita kembalikan pembahasan kita pada penafsiran ayat di atas, maka pantaslah atas sesuatu yang dapat memberikan cahaya penglihatan kepada yang lain, dinamakan sebagai lentera/pelita penerang. Dan pelita itu memperoleh cahayanya dari sesuatu yang dinamakan api. Cahaya yang ada di atas bumi ini (para Nabi dan ulama) memperoleh cahaya dari alam atas (tinggi). Sedang minyak ruh suci kenabian sendiri nyaris bersinar walaupun tidak tersentuh api. Dan setelah tersentuh api, ruh itu berubah menjadi “cahaya di atas cahaya.” Ruh itu menyulut cahaya bumi, khususnya setelah ruh itu tersentuh oleh ruh Ilahiyah, yang berada di alam atas.

Jika ruh atas itu yang dianggap sebagai sumber dari nyalanya segala pelita bumi, maka tidak ada perumpamaan yang lebih tepat bagi ruh itu kecuali api, dan tidak ada perumpamaan bagi api itu kecuali api yang terdapat di balik gunung Sinai (api yang menampakkan diri pada nabi Musa. QS. 28 : 29).

Tingkatan Cahaya

Cahaya langit adalah sumber cahaya di bumi. Dan apabila diurutkan, maka yang paling dekat dengan sumber cahaya awal itulah yang lebih tepat disebut cahaya, sebab cahaya inilah yang paling tinggi derajatnya. Untuk menjelaskan tata urutan ini, al-Ghazali menggunakan perumpamaan. Seperti halnya cahaya bulan purnama yang masuk ke dalam fentilasi rumah. Cahaya itu jatuh ke sebuah cermin, kemudian cermin yang kejatuhan cahaya itu memantulkannya ke dinding di sekitarnya. Akhirnya dari biasan dinding ini dapat menyinari lantai rumah. Kita memahami bahwa cahaya yang menerangi lantai itu berasal dari cahaya dinding, cahaya dinding bersumber dari cahaya cermin, sedangkan cahaya yang menerpa cermin itu berasal dari cahaya bulan purnama, adapun cahaya bulan itu bersumber dari cahaya matahari. Secara berurutan, keempat cahaya itu tingkatannya lebih tinggi antara yang satu dengan yang lainnya. Dan yang paling tinggi adalah yang paling sempurna.

Hal itu juga berlaku bagi cahaya-cahaya malakut. Dan hal ini hanya bisa tersingkap bagi para pemilik bashirah (mata hati). Maka tidak aneh kalau malaikat Istafil di atas tingkatan Jibril. Di antara para malaikat itu terdapat tingkatan yang lebih dekat lagi kepada hadirat al-rububiyah (hadirat ketuhanan), sebagai sumber dari segala cahaya. Di antara mereka terdapat tingkatan yang tidak mungkin dapat di hitung.

Diketahui bahwa cahaya-cahaya itu memiliki tata urutan, tapi menurut al-Ghazali, bukan berarti itu sambung-menyambung tanpa batas. Cahaya itu terus membumbung naik hingga mencapai sumber cahaya pertama, yaitu Cahaya itu sendiri, yang Zatnya tidak disinari oleh cahaya lain. Ia memancarkan cahayanya ke seluruh cahaya sesuai dengan tata urutannya masing-masing.

Maka sekarang, al-Ghazali mempertanyakan, manakah yang lebih berhak disebut cahaya, apakah cahaya yang merupakan hasil pinjaman dari yang lain ataukah yang bercahaya dengan sendirinya sekaligus memberi cahaya pada setiap yang lainnya?. Maka jelaslah menurutnya, bahwa yang paling berhak disebut cahaya hanyalah cahaya yang paling jauh dan tertinggi, yang tidak ada lagi cahaya di atasnya dan darinya terpancarlah cahaya-cahaya menuju lainnya. Sampai sini, jelaslah penafsiran al-Ghazali atas ayat di atas, bahwa “Allah adalah cahaya langit dan bumi.”

Perumpamaan Misykat, Pelita, Kaca, Pohon, Minyak dan Api

Dalam menjelaskan perumpamaan di atas, al-Ghazali pertama-tama mengajukan dua pokok pembahasan. Pertama, penjelasan tentang rahasia perumpamaan, metode, dan sistematika makna-makna yang dikemas dalam bentuk perumpamaan itu. Dan menyangkut relevansi alam syahadah sebagai materi perumpamaan dengan alam malakut, yang dari alam itu ruh-ruh turun. Kedua, penjelasan tentang tingkatan ruh manusiawi dan derajat cahayanya. Perumpamaan tersebut tersirat pada surat al-Nur : 35.
Ibn Mas’ud membaca ayat tersebut sebagai berikut :
مثل نوره (فى قلب المؤمن) كمشكاة فيها....
“Perumpamaan cahaya Allah ( di dalam hati orang-orang mukmin) seperti misykat …”
sedangkan Ubay bin Kaab membacanya sebagai berikut :
“Perumpamaan cahaya hati orang-orang mukmin seperti misykat di dalamnya…”

A. Rahasia Perumpamaan dan Metodenya

Al-Ghazali mengatakan bahwa alam ini ada dua macam: alam ruhani dan alam jasmani. Untuk kedua alam ini terdapat banyak peristilahan tetapi maknanya adalah sama. Orang yang telah mencapai alam hakikat, mereka menjadikan makna sebagai pokok, sedangkan istilah hanyalah sebagai pelengkap saja.

Di antara kedua alam ini terdapat hubungan. Alam inderawi (jasmani) hanyalah media pendakian ke alam akal (ruhani). Seandainya tidak ada hubungan antara kedua alam ini, niscaya jalan pendakian ke alam akal akan tertutup. Jika media itu tertutup, maka mustahil bagi seseorang untuk berjalan menuju ke hadirat rububiyah dan termasuk pula jalan untuk mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah SWT.

Siapa pun tidak akan bisa mendekatkan diri kepada Allah SWT sebelum menginjakkan kakinya di arena hadirat al-quds. Sedangkan hadirat al-quds yang al-Ghazali maksud adalah alam yang tidak dapat disadap oleh indera penglihatan maupun khayalan. Secara global, yang dimaksud dengan hadirat al-quds adalah kawasan di mana tidak ada sesuatu yang keluar darinya, dan tidak ada pula sesuatu yang asing baginya yang masuk ke dalamnya. Al-Ghazali menamakan ini al-ruh al-basyari (ruh manusiawi), yaitu tempat limpahan goresan-goresan kesucian yang disebut al-wadi al-quds (lembah kesucian). Secara majazi, istilah hadirah al-quds ini dapat diartikan dengan ruang kesucian Ilahi.

Ketika berbicara tentang Zat Allah berkaitan dengan ayat di atas, al-Ghazali mengatakan bahwa tidak ada perumpamaan bagi Zat, karena Dia Maha Suci dari seluruh bentuk perumpamaan dan kesamaan. Dia adalah Allah Yang Maha Haqq. Hal ini juga seperti yang dikatakan Rasulullah SAW ketika ditanya tentang perumpamaan Allah. Beliau hanya menjawab dengan membacakan surat al-Ikhlas. Begitu pula ketika Nabi Musa as. ditanya oleh Fir’aun tentang hal itu, Nabi Musa hanya menjawab : “Dia adalah Tuhan langit dan bumi”. Dan selanjutnya : “Dia adalah Tuhan kalian dan Tuhan kakek moyang kalian yang terdahulu…”(QS. Ash-Shaffat, 37 : 126).

Mengenai perumpamaan ini, al-Ghazali kemudian menyinggung permisalan dalam ta’bir mimpi. Menurutnya, mimpi merupakan bagian dari kenabian. Bermimpi tentang matahari dapat dita’birkan sebagai raja. Penta’biran itu tentunya didasarkan atas persamaan makna (simbol), yaitu kekuasaan yang tinggi dengan memancarkan cahaya pengaruh dan wibawanya di depan rakyat. Bulan diartikan sebagai seorang menteri, karena ketika matahari tidak tampak, dia limpahkan cahayanya kepada bulan untuk memberikan sinarnya ke bumi. Sang raja melimpahkan tugasnya kepada para menterinya untuk disampaikan kepada rakyatnya. Dan masih banyak lagi ta’bir mimpi yang lain, yang itu semua artinya bahwa dari alam ruhani yang tinggi itu terdapat perumpamaan-perumpamaan, yang darinya memancar percikan ma’rifat dan mukasyafah (keterbukaan tabir kegaiban secara spiritual) ke dalam kalbu insani.

B. Tingkatan Cahaya Manusia Untuk Memahami Ilustrasi Dalam Al-Qur’an

Dalam membahas tingkatan cahaya manusia ini, al-Ghazali membedakannya menjadi lima macam. Pertama, ruh inderawi, yaitu ruh yang dapat menyadap segala sesuatu yang ditranfer oleh panca indera. Kedua, ruh khayal (ruh imajinatif), yaitu ruh yang merekam informasi yang disampaikan oleh panca indera, kemudian menyimpannya, selanjutnya dikirim ke ruh akal di saat membutuhkannya. Ketiga, ruh aqli, yaitu ruh yang dapat menyadap makna-makna di luar indera dan khayal. Ruh ini merupakan substansi manusiawi yang tidak dimiliki oleh hewan, bayi, atau anak kecil. Keempat, ruh fikri (ruh pemikiran), yaitu ruh yang mengambil ilmu-ilmu akal murni. Dan kelima, ruh al-quds al-nabawi (ruh suci kenabian), yaitu ruh yang khusus dimiliki oleh para Nabi dan sebagian para wali. Di dalam ruh ini tersingkaplah lauh-lauh (catatan-catatan) gaib, terbuka pula hukum-hukum akhirat, pengetahuan-pengetahuan tentang kerajaan langit dan bumi, bahkan terbuka pula pengetahuan-pengetahuan rabbani (tentang ketuhanan), yang semua itu tidak dapat terjangkau oleh kemampuan akal dan pemikiran.

Pengertian Allah Adalah Cahaya Langit dan Bumi

Semua (kelima) macam ruh di atas adalah cahaya-cahaya, sebab dengan cahaya itu segala sesuatu menjadi kelihatan. Dan kelima ruh tersebut oleh al-Ghazali diperbandingkan dengan misykat, kaca (zujajah), pelita (mishbah), pohon (sajarah), dan minyak (zaitun).

Pertama, tentang ruh inderawi, bila dilihat dari keistimewaannya, akan ditemukan cahayanya yang keluar dari berbagai celah seperti mata, telinga, hidung, den sebagainya. Karena itu perumpamaannya yang paling tepat baginya di alam kasat mata adalah Misykat.

Kedua, tentang ruh khayali, memiliki tiga sifat: 1). Ia berasal dari materi alam rendah yang pekat, 2). Khayal yang pekat ini bila dijernihkan, diperhalus, dan dirapikan akan mendekati batas makna yang hanya dapat ditangkap oleh daya akal, sehingga hampir menyamainya dan tidak menghalangi pancaran cahaya darinya, 3). Khayal itu pada dasarnya sangat dibutuhkan untuk membuat sistematika ilmu pengetahuan, agar tidak goyah, tidak terombang ambing, dan tidak berantakan. Ketiga ciri khas ini tidak akan ditemui perumpamaannya pada benda apa pun di alam kasat mata, dalam hubungannya “kaca yang melihat”, kecuali pada ‘kaca’ (zujajah).

Ketiga, tentang ruh aqli, yang berfungsi untuk menangkap makna-makna mulia Ilahiyah. Maka perumpamaanya adalah ‘Pelita’ (Mishbah). Dari penjelasan yang lalu ditemukan alasan kenapa para Nabi itu disebut sebagai siraj al-munir (Pelita penerang).

Keempat, tentang ruh fikri, dimana di antara ciri khasnya adalah ia tumbuh dari ‘satu’ kemudian bercabang menjadi ‘dua’, dan masing-masing keduanya bercabang-cabang lagi, begitu seterusnya, sehingga menjadi banyak. Setelah itu cabang-cabang itu membuahkan benih baru untuk ditanam menjadi pohon serupa. Dengan demikian perumpamaan ruh fikr (pemikiran) yang paling tepat di alam kasat mata ini adalah “Pohon” (Sajarah). Dan pohon yang paling tepat adalah pohon zaitun, yang minyaknya dapat dijadikan bahan bakar untuk menyalakan pelita. Di samping itu minyak zaitun memiliki keistimewaan, yakni cahaya yang ditimbulkan lebih terang daripada minyak lainnya. Jika pohon yang banyak buahnya dinamakan dengan pohon berkah, maka pohon zaitun yang sangat banyak buahnya lebih tepat dinamakan pohon ‘penuh berkah’, atau ‘pohon yang diberkahi’. Dan bila cabang dari akal pikiran murni tidak dapat dikaitkan dengan arah dekat atau jauh, berarti cabang pikiran itu tidak di timur dan juga tidak di barat.

Kelima, tentang ruh kenabian, yang dihubungkan dengan para nabi dan wali, yakni ketika ruh ini dalam kondisi puncak kebenderangan dan kejernihan.

Ruh pikiran ini ada dua macam, yaitu : 1). Ruh pikiran yang memerlukan pengajaran, rangsangan, dan motivasi dari luar, agar tetap berkembang menuju ilmu pengetahuan, dan 2). Ruh pikiran yang mampu mengembangkan diri tanpa bantuan dari luar. Bagi ruh pikiran murni yang memiliki kesiapan yang kuat, digambarkan seperti minyaknya saja bercahaya walaupun tidak tersentuh api. Sebab di antara para wali ada juga yang nyaris bercahaya dengan sendirinya, sehingga seakan-akan tidak memerlukan bantuan dari para Nabi. Demikian juga di antara para nabi ada yang hampir tidak membutuhkan bantuan malaikat. Begitulah perumpamaan “Minyak” (Zaitun) ini sangat sesuai dengan ruh seperti dibahas tadi.

Menurut al-Ghazali, jika cahaya ini membentuk sistem, maka cahaya inderawi menduduki posisi pertama dan menjadi mukaddimah bagi cahaya khayali, begitulah seterusnya sampai pada cahaya fikri (pemikiran) dan cahaya akal. Dengan demikian tepat sekali bila “kaca” (semprong) dijadikan tempat bagi pelita (lampu), dan misykat (ceruk) itu sebagai tempat kaca. Jelasnya, pelita itu berada di dalam kaca dan kaca berada di dalam misykat. Jika semua itu dinamakan cahaya-cahaya, dimana cahaya yang satu berada di atas cahaya lainnya, maka itulah yang dimaksudkan dengan ilustrasi Cahaya di atas cahaya.

Demikianlah penafsiran sang sufi agung yang sudah mencapai tingkat hakikat. Sehingga ia mampu menyibak tirai hijab, menguak rahasia terdalam, dan membuka pintu pengetahuan yang tersirat dari al-Qur’an surat an-Nur : 35 ini. Walaupun beliau sendiri mengatakan bahwa penjelasan yang ada dalam kitab ini tidaklah mampu menguak semua misteri hakikat, tetapi paling tidak, beliau dengan karyanya ini telah mampu memperkenalkan gambaran-gambaran alam hakikat dan mengantarkan kita ke gerbang lautan Kerajaan Ilahi yang tak bertepi. Subhanallah. Wallahu a’lam bi al-shawab.

Rabu, 22 Agustus 2007

TAFSIR TEMATIK TENTANG IBADAH QURBAN

Oleh : KH. Shohibul Faroji Al-Robbani
A. Ibadah Qurban dalam Pemahaman Tauhid
Pesan paling substansial dalam ibadah qurban adalah perintah untuk menegakkan tauhid sebagai fondasi utama dalam beragama. Konsekuensi logis dari kalimat “la ilaha illa Allah” adalah penegasan terhadap segala bentuk penyembahan, pengabdian dan perbudakan mental selain kepada Allah.Dengan mengatakan “tidak ada tuhan selain Allah”, seorang manusia-tauhid memutlakkan Allah Yang Maha Esa sebagai Khaliq atau Maha Pencipta, dan menisbikan selain-Nya. Dengan demikian, tauhid berarti komitmen manusia kepada Allah sebagai fokus dari seluruh rasa hormat, rasa syukur dan sebagai satu-satunya sumber nilai. Apa yang dikehendaki oleh Allah akan menjadi nilai (value) bagi manusia-tauhid, dan ia tidak akan mau menerima otoritas dan petunjuk, kecuali otoritas dan petunjuk Allah.

Nabi Ibrahim, melalui peristiwa pengurbanan ini, mengajarkan kepada kita sikap ber-tauhid yang sesungguhnya. Ia berhasil mengalahkan egonya. Ia mampu membebaskan dirinya dari penghambaan terhadap materi (kebendaan)--- berupa mencintai anaknya--- dengan kesediaan mengurbankan anaknya sendiri sebagai bukti ketaatannya kepada Allah Swt. Ia menyadari sepenuhnya bahwa “nilai tertinggi” bagi seorang hamba adalah kepasrahan serta kepatuhannya terhadap segala perintah dari Sang Pencipta.Ibadah qurban yang diperintahkan oleh Allah kepada kita adalah merupakan manifestasi dari salah satu sunnatullah yaitu The Law Of Detachment (Hukum Kemerdekaan/ melepaskan kemelekatan). Yaitu kemelakatan dari urusan dunia, berhala-berhala duniawi sekaligus kemerdekaan diri, jiwa, hati dan ruh untuk tauhid kepada Allah. Kemelekatan terhadap dunia akan menjadi hijab dan penghalang seseorang untuk dekat dan bertemu dengan Allah (liqo' Allah) Karena itu kemelekatan terhadap berhala-berhala dunia serta kemewahannya harus disembelih dalam rangka berkorban untuk Allah. Bukankah qurban berasal dari kata Qaraba-yaqrabu-Qurbaanan artinya mendekatkan hati, diri, jiwa dan ruh semata-mata kepada Allah.

Berbicara tentang pembebasan diri dari berhala-berhala (multiteisme/ syirik). Ali syari'ati menerangkan konsep berhala (idolisme) yang menjadi alat dan media untuk menyekutukan Tuhan. Berhala ini merupakan suatu bentuk khusus dari multiteisme (Syirik). Penyembahan berhala merupakan perbuatan syirik atau multiteisme. Multiteisme telah dikenal sebagai agama masyarakat awam sepanjang sejarah dan, pada satu fase, multiteisme termanifestasi dalam bentuk penyembahan berhala (idolisme). Jadi penyembahan berhala berarti membuat patung-patung atau benda-benda suci yang menurut para pengikutnya, yaitu pengikut agama multiteisme.Sebab itu, patung-patung tersebut sama dengan tuhan atau mereka percaya bahwa pada dasarnya patung itu adalah tuhan atau perantara atau wakil-wakil tuhan dan bagaimanapun mereka percaya bahwa masing-masing tuhan ini aktif atau berpengaruh dalam salah satu bagian kehidupan dan dunia. Jadi, penyembahan berhala merupakan satu bagian dari agama multiteisme.Dalam kitab suci Al-Qur'an, ketika mereka (orang-orang multiteis, penyembah berhala) dikecam atau ketika mereka diajak berdebat dan dikritik, diupayakan agar dialog-dialog dengan mereka dilakukan dalam term-term yang lebih umum dan melibatkan kalangan multiteis maupun para penyembah berhala. Mengapa, Agar penilaian yang kini muncul dalam benak, nantinya tidak terwujud. Kita mengetahui bahwa gerakan Islam bukan hanya menentang bentuk-bentuk penyembahan berhala yang ada tetapi lebih dari itu, kita mengetahui bahwa serangan Islam mengikuti gerakan-gerakan monoteistik masa lalu, merupakan serangan terhadap akar-akar agama multiteisme secara umum dan dalam bentuk apapun, termasuk bentuk penyembahan patung dan kita membayangkan bahwa kita harus mengetahui pihak oposisi (yaitu, agama multiteisme), ketika ia berbentuk penyembahan berhala, karena kitab Suci al-Qur'an mengatakan, "Apakah kamu menyembah apa-apa yang kamu buat sendiri?" (QS.37:95).

Apakah sepanjang sejarah dan di seluruh bentang wilayah geografis yang disembah hanyalah patung kayu dan batu yang dibuat dengan tangan-tangan kita sendiri? Tidak. Multiteisme sejak dulu dan sampai sekarang termanifestasi dalam ratusan bentuk fisik dan non fisik sebagai salah satu agama yang umum dalam sejarah kemanusiaan. Salah satu bentuknya pada masa sekarang, dalam semua masyarakat manusia, adalah penyembahan berhala dalam bentuk kebodohan."Apakah kamu menyembah sesuatu yang kamu buat sendiri?" merupakan suatu prinsip umum. Kalimat ini merupakan deskripsi tentang sikap penyembahan religius dalam agama multiteisme. Agama multiteisme ini bergerak maju, sepanjang sejarah, berdampingan dan setahap demi setahap, seiring dengan agama monoteisme dan terus bergerk maju dengannya. Hal ini, tidak pernah berhenti dengan kisah Ibrahim atau dengan munculnya Islam. Tetapi terus berlanjut.

Di era sekarang ini ternyata berhala-berhala tidak hanya berarti patung, arca, gambar. Tetapi masih ada berhala-berhala psikologis yag harus dihancurkan dari dirinya sendiri, karena hal itulah yang menghalangi keterikatan penuh seseorang dengan Tuhan. Apakah berhala-berhala psikologis ini? Bisa jadi berhala-berhala psikologis ini berbentuk jabatan, reputasi, posisi, profesi, kekayaan, tempat tinggal, taman, mobil, orang yang tercinta, keluarga, pengetahuan, gelar, kesenian, spiritualitas, baju, kemasyhuran, popularitas, partai, pengikut, tanda tangan, jiwa, masa muda, kecantikan, ketampanan, intelektual, idiologi, filsafat kita dan lain-lain?.

Tanda-tanda dari berhala-berhala Psikologis adalah apapun yang memperlemah anda diatas jalan keimanan dan kebenaran, apa saja yang mengajak anda berhenti untuk berbuat. Apa saja yan membawa keraguan terhadap tanggung jawab anda. Apa saja yang melekat pada anda dan menarik anda ke belakang. Apa saja yang telah anda susun dalam hati yang tidak membolehkan anda mendengar pesan supaya mengakui kebenaran. Apa saja yang menyebabkan anda lari. Apa saja yang membawa anda kepada justifikasi, legitimasi, hermenetik, mencari kompromi dan cinta yang membuat anda buta dan tuli maka itulah karakter dari berhala-berhala psikologis.Karena itu berqurban dalam paradigma Tauhid adalah membebaskan diri, hati, ruh dan jiwa dari kemelekatan terhadap sesuatu selain Allah.

B. Ibadah Qurban sebagai Pembebasan Humanistik,
Idul Qurban tidak hanya dimaknai sebagai wujud kepasrahan Nabi Ibrahim yang total kepada Tuhan. Keduanya juga mempunyai makna pembebasan manusia dan nilai-nilai kemanusiaan dari kesemena-menaan manusia atas lainnya. Ketika Tuhan mengganti Ismail dengan seekor domba, tersirat pesan yang ingin memaklumkan manusia agar tidak lagi menginjak-injak manusia lain dan harkat kemanusiaannya. Drama tersebut juga ingin menegaskan bahwa Tuhannya Ibrahim bukanlah Tuhan yang haus darah manusia. Dia adalah Tuhan yang ingin menyelamatkan dan membebaskan manusia dan harkat kemanusiaan itu sendiri dari tradisi yang tidak menghargai manusia dan kemanusiaan.

Makna Idul adha berarti kembali kepada hari raya qurban. Di dalam ritual idul adha itu terdapat apa yang biasa disebut udlhiyah, atau penyembelihan hewan qurban. Pada hari itu kita menyembelih hewan tertentu dalam rangka qurban. Qurban berasal dari bahasa Arab yang bermakna qurbah atau mendekatkan diri kepada Allah. Saya kira itu pengertian Idul Adha yang sangat sederhana.Idul Adha juga berarti merefleksi sejarah masa lampau. Intinya mengenang perjuangan monoteistik dan kemanusiaan yang pernah dilakukan oleh Nabi Ibrahim. Saya kira, seluruh ritual haji dan hari-hari berikutnya, tanggal 11, 12, dan 13 Dzulhijjah, mengandung makna-makna simbolik keagamaan, untuk keteladanan sebuah perjuangan kemanusiaan yang pernah diperankan Nabi Ibrahim. Jadi dalam konteks ini, mimpi Nabi Ibrahim untuk menyembelih anaknya, saya kira memang petunjuk Tuhan untuk mengejawantahkan sebuah perjuangan maha berat. Tapi saya ingin menyatakan bahwa, kesemua itu hanyalah pesan simbolik dari agama, bukan dalam artian kejadian yang hakiki.

Kalau kita memaknainya sebagai pesan simbolik, sesungguhnya peristiwa itu bukan sesuatu yang riil. Hanya saja, keyakinan kebanyakan umat Islam memang menegaskan bahwa kejadian itu riil terjadi pada masa yang lampau. Saya kira, agak sulit memasukkan peristiwa ayah yang rela hati (akan) menyembelih anaknya itu ke dalam akal pikiran kita, tanpa ditopang unsur keyakinan. Peristiwa itu memang agak sulit diterima oleh akal, kecuali kalau kita meletakkannya dalam kerangka keyakinan kepada Tuhan; Tuhan memerintahkan itu, sehingga itu mungkin terjadi. Drama penyembelihan Nabi Ismail itu dimaknai sebagai wujud kepasrahan total kepada Tuhan. Peristiwa itu bisa dimaknai sebagai pesan simbolik yang menunjukkan kepasrahan Nabi Ibrahim kepada Allah. Tapi penilaian yang lain mungkin bisa juga diungkapkan misalnya, apakah mungkin peristiwa penyembelihan itu dilakukan terhadap orang tertentu tanpa dilandasi kesalahan yang dia perbuat.

Jadi, peristiwa ini berbeda dengan kasus pembunuhan yang bisa dibenarkan, karena yang dibunuh melakukan kezaliman atas kemanusiaan. Itu yang sebetulnya ingin saya pahami. Tapi, saya kadang juga bisa merespon peristiwa itu sebagai simbol penyerahan diri yang total kepada Tuhan, sekalipun dalam bentuk tindakan penyembelihan terhadap sosok seorang anak yang dicintai. tafsiran tentang kepasrahan itu sebetulnya tidak berkesesuaian dengan watak agama Ibrahim yang tidak membenarkan pembunuhan tanpa dasar. Saya kira itu yang saya tangkap dari makna yang tersirat dari kisah Al-Qur’an itu.Saya setuju dengan pendapat Ali Syari’ati itu. Pengorbanan diri manusia dan harkat kemanusiaannya memang tidak dibenarkan oleh Tuhan. Sebab, Nabi Ibrahim sendiri tampil untuk menegakkan martabat kemanusiaan itu sendiri. Saya setuju dengan Ali Syariati ketika dia mengatakan bahwa Tuhannya Ibrahim itu bukan Tuhan yang haus akan darah manusia. Jadi, persepsi tentang Tuhan kemudian diralat, tidak sebagaimana tradisi masyarakat waktu itu, yang mengorbankan diri manusia untuk dipersembahkan dan diabdikan kepada Tuhan. Jadi, pesan ini juga dapat dibaca sebagai pesan untuk memutus tradisi membunuh manusia demi “kepentingan Tuhan”. Membunuh manusia hanya dibenarkan dalam kerangka kemaslahatan kemanusiaan yang lebih besar. Artinya, kita tidak dibenarkan mengorbankan manusia lainnya dengan dalih yang manipulatif, sekalipun dengan klaim demi kepentingan Tuhan. Sebetulnya Idul Adha juga mengandung semangat pembebasan bagi manusia dan nilai-nilai kemanusiaan. Lebih dari itu, saya ingin menegaskan dua hal penting yang terkandung di dalam Idul Adha. Pertama semangat ketauhidan, keesaan Tuhan yang tidak lagi mendiskriminasi antarmanusia atau membeda-bedakan satu dengan lain. Di dalam ketauhidan itu, juga terkandung pesan pembebasan manusia dari penindasan manusia lainnya atas nama apapun. Yang kedua, Idul Adha juga dapat diletakkan dalam kerangka penegakan nilai-nilai kemanusiaan, seperti penekanan solidaritas dan kesatuan kemanusiaan tanpa dilatarbelakangi kepentingan-kepentingan di luar pesan ketuhanan itu sendiri.Kalau mencermati peristiwa qurban dan haji, kita menemukan keterkaitan yang kuat antara tradisi Nabi Ibrahim dengan agama Islam. Nabi Ibrahim disebut-sebut sebagai bapak dari nabi-nabi yang membawa teologi tauhid atau keesaan Tuhan. Inti pesan inilah yang kemudian diwariskan Nabi Ibrahim kepada nabi-nabi sesudahnya, dan tetap menjadi corak agama-agama sesudahnya. Karena itu, agama-agama yang berafiliasi kepadanya sesungguhya memiliki akar yang sama, yaitu akar ketauhidan. Makanya, sebagian ritualnya yang tidak bertentangan dengan akar ketauhidan tetap dipelihara dan diikuti oleh umat-umat sesudah Nabi Ibrahim. Di dalam Al-Qur’an kita dianjurkan agar mengikuti agama Nabi Ibrahim yang hanif. Yaitu, anittabi’ millata ibraahim hanifan, hendaklah kamu mengikut agama Ibrahim yang lurus, atau tidak menyimpang. Selain disebut hanif, agama Ibrahim juga disebut agama yang penuh samaahah, atau agama yang penuh toleransi terhadap manusia lain.

C. Ibadah Qurban sebagai Ibadah Sosial,
Saya kira, di dalam khutbah-khutbah keagamaan, kita perlu menegaskan bahwa ritual-ritual keagamaan selalu mempunyai dua dimensi. Dimensi keyakinan atau keimanan kepada Tuhan, dan dimensi sosial-kemasyarakatan. Hal ini dikarenakan agama memang diperuntukkan bagi manusia dan untuk memperbaiki tatanan sosial kemanusiaan. Terkait dengan dimensi sosial, kita menyaksikan betapa sulitnya membangkitkan dimensi sosial menjadi sebuah ritual. Karena penyadaran akan dimensi sosial tersebut seperti peristiwa qurban ini, bersifat musiman saja. Saya kira kesulitan itu juga dilatarbelakangi sejarah yang sangat panjang, dimana risalah sosial-kemanusiaan Islam yang sebetulnya menjadi tujuan utama sebuah agama, tereduksi oleh ritualisme aspek ibadah kepada Tuhan. Seakan-akan agama hanya untuk kepentingan individu dengan Tuhan semata, terlepas dari kepentingan sosial-kemanusiaan yang umum. Saya menyebut kejanggalan seperti ini sebagai keberagamaan yang terlalu teosentris, atau menganggap bahwa hanya Tuhanlah ujung dari semua pengabdian kita, sembari mengabaikan faktor manusia. Pola keberagamaan seperti ini sangat terpusat kepada Tuhan, dan bersifat sangat personal. Saya kira, problem kemanusiaan jauh lebih penting untuk ditanggapi dan sangat besar nilainya di hadapan Allah.Saya tidak bisa memilah salah satu persoalan yang paling krusial yang kita hadapi saat ini, karena begitu kompleksnya persoalan yang kita hadapi. Tapi persoalan kita yang paling mendasar menurut saya adalah soal ketidakadilan antarmanusia. Kita melihat, kemiskinan lebih banyak dirasakan orang, sementara kekayaan hanya dicicipi segelintir orang. Maka dari itu, saya kira problem utama kita adalah problem menegakkan keadilan. Kalau problem itu yang kita pilih, maka relavansi Idul Adha kali ini adalah sebagai simbol keharusan untuk mewujudkan keadilan sosial di antara manusia. Terkait dengan itu, yang penting juga adalah problem kemiskinan yang kita alami. Makanya, yang perlu kita usahakan adalah bagaimana menegakkan keadilan dalam bidang-bidang ekonomi, sehingga kekayaan tidak menumpuk pada sekelompok orang saja.Saya kira, simbol Ibrahim dan Ismail memang sudah sangat sulit kita dapatkan lagi pada zaman sekarang. Simbol Ibrahim yang pasrah kepada Tuhan, demi mewujudkan nilai-nilai kemanusiaan sudah mulai memudar. Simbol Ismail yang pasrah kepada tuntutan-tuntutan ketuhanan juga langka saat ini. Sekarang, kita memang membutuhkan dua sosok simbol itu. Yaitu, bagaimana memaknai simbol Ibrahim sebagai perjuangan pembebasan kemanusiaan itu sendiri, dan bagaimana menjadikan Ismail sebagai simbol untuk bersama-sama menegakkan nilai-nilai ketuhanan di tengah-tengah masyarakat. Saya kira, kedua hal itu sangat kurang kita rasakan, karena pemahaman keagamaan mayoritas kita masih dalam frame kepentingan-kepentingan pribadi, tidak dalam frame kepentingan masyarakat secara luas.

D. Ibadah Qurban sebagai simbol Cinta Sejati,
Suatu ketika, Siti Sarah menyarankan suaminya untuk menikah lagi, mengingat usia mereka sudah cukup tua namun belum juga dikaruniai anak. Kemudian, menikahlah Nabiyullah Ibrahim dengan Siti Hajar, wanita sholihah yang dipilihkan Siti Sarah. Tak lama setelah itu Siti Hajar hamil, dan hamil pula Siti Sarah. Akhirnya saat-saat yang ditunggu-tunggu Ibrahim selama ini terwujud dengan lahirnya Ismail dari Siti Hajar. Namun, disaat kebahagiaan menyelimuti Ibrahim dan keluarga, Allah menguji iman hamba-Nya yang mukmin dengan sesuatu yang dicintainya, yaitu Ibrahim harus meninggalkan istri dan anak yang masih 'bayi merah' di tengah daerah yang sangat gersang, yaitu lembah Baka (lembah air mata). Di lembah tersebut tak ada sebatang pohon-pun yang tumbuh di sana serta tak ada air sebagai sumber kehidupan. Setiap orang yang ada di lembah tersebut pastilah akan menangis.

Dalam suatu riwayat, Siti Hajar bertanya kepada Ibrahim sampai tiga kali, perihal ditinggalkannya dia dan anaknya di lembah tersebut. Siti hajar berujar,"Wahai Suamiku, apakah yang Engkau lakukan ini perintah Allah".Nabi Ibrahim menjawab"Benar, ini adalah perintah Allah". Siti Hajar menjawab dengan tegas tanpa keraguan sedikitpun. "Kalau memang ini perintah Allah, tinggalkanlah kami . Karena Allah pasti akan menyelamatkan hamba-Nya dan tak akan menyengsarakannya". Kemudian berjalanlah Ibrahim meninggalkan orang-orang yang dicintainya. Namun, kecintaan Ibrahim terhadap mereka, menghentikan langkahnya seraya berdo'a dan bermunajat kepada Allah…sang khalik yang lebih mencintai hamba-Nya. Do'a ini diabadikan dalam Al Qur'an, " Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berdo`a: Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rezki dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman di antara mereka kepada Allah dan hari kemudian. Allah berfirman: "Dan kepada orang yang kafirpun Aku beri kesenangan sementara, kemudian Aku paksa ia menjalani siksa neraka dan itulah seburuk-buruk tempat kembali". (Al-Baqarah: 126). Sedangkan tempat berdirinya Ibrahim menjadi maqom Ibrahim dekat Baitullah.

Ismail mulai menangis di tengah terik matahari karena kehausan , Siti Hajar sebagai seorang ibu bangkit untuk berusaha mencari air bagi anaknya. Siti Hajar harus berlari-lari antar dua bukit, Shafa dan Marwah. Perjuangan ini diabadikan dalam prosesi Sa'i. Sa'i adalah simbol kecintaan dan pengorbanan seorang ibu terhadap anaknya. Dengan perkenan Allah, muncullah air dari sela-sela jari bayi Ismail. Dan terpancarlah air yang tak pernah habis sejak dulu hingga saat ini walaupun senantiasa diambil oleh berjuta-juta jama'ah haji, itulah air zamzam.

Ismail tumbuh menjadi seorang pemuda yang sehat. Ia menjalani masa remajanya dengan penuh kecintaan dari kedua orang tuanya yang shaleh. Namun, Allah kembali menguji kekasih-Nya Ibrahim berupa perintah untuk menyembelih putra tercintanya. Percakapan antara ayah dan anak untuk memenuhi perintah Allah ini diabadikan dalam Al Qur'an. Sungguh Allah hendak memperlihatkan gambaran hubungan sejati seorang ayah yang taat pada Rabbnya dan anak yang sangat shaleh. Keluarga yang sakinah dan harmonis ini mendapat tantangan yang cukup berat dari syetan la'natullah. Dengan landasan keimanan, keluarga ini mampu memberikan perlawan yang sempurna, yaitu keikhalasan seluruh anggota keluarga untuk melaksanakan perintah Allah untuk menyembelih Ismail. Saat-saat menegangkan nabi Ibrahim harus mengorbankan putranya, Allah mengganti Ismail yang sedang terbaring menjadi seekor gibas yang sehat dan gemuk. Itulah sejarah ibadah qurban yang menjadikan cinta karena iman sebagai pondasinya.

Rasulullah bersabda "Barangsiapa memiliki kemampuan untuk berqurban tapi tidak melaksanakannya maka janganlah mendekati mesjidku". Diriwayatkan oleh Tirmidzi dan dishahihkan oleh Hakim. Hadist itu menunjukkan bahwa Rasulullah mengusir orang yang enggan berqurban padahal mampu. Manusia cenderung mencintai harta, maka Allah memerintahkan agar mereka mengeluarkan sebagian harta yang dicintainya untuk berqurban dengan ternak yang terbaik. Dalam bahasa arab, qur'an berasal dari kata qaraba yang artinya mendekatkan. Hal ini mengandung arti bahwa cinta yang shohih adalah cinta karena iman, sebuah cinta yang dapat mengantarkan kedekatan seorang hamba pada Sang Khalik. Cinta ini akan menembus batas-batas golongan tempat, bahkan menjadi esensi murni dari bentuk persaudaraan di muka bumi.

Allah akan melimpahkan cinta yang hakiki ini pada orang-orang beriman yang merupakan satu garis lurus dari cinta antara dua orang manusia, laki-laki dan wanita, berlanjut lagi yaitu cinta antara sesama manusia kemudian meningkat pada kecintaan yang lebih tinggi, sebagai puncaknya adalah cinta pada Allah dan Rasulnya. Itulah sebabnya Rasul bersabda bahwa dasar-dasar cinta apapun harus karena Allah yaitu dengan sabdanya"Cintailah sesuatu karena Allah dan benci terhadap sesuatu karena Allah". Cinta antara dua manusia yang hakiki menghantarkan pada terbentuknya keluarga yang kokoh sebagaimana rumah tangga nabiyullah Ibrahim. Dari sini lahirlah dua buah bangsa, yaitu Mekah dan Baitul Maqdis (Yerussalem). Mekah, diawali oleh Siti Hajar dan Ismail sebagai cikal bakal generasi Bani Hasyim yang melahirkan Rasulullah sebagai pembawa dan penyempurna risalah islam. Sedangkan Bitul Maqdis (Yerussalem) yang diawali oleh Siti Sarah dan putranya Ishak menjadi cikal bakal generasi Bani Israil. Kedua bangsa tersebut terbina oleh iman yang berawal dari sebuah keluarga.

Cinta yang yang hakiki membuka jalan bagi rahmat Allah melalui mekanisme-Nya yang unik. Allah mengikat hati dan jiwa mereka, mempertemukan, menyatukan ibarat interferensi dua buah gelombang elektromagnetik (bisa menembus ruang dan waktu) yang memiliki amplitudo, frekuensi dan beda fase yang tetap. Kedua gelombang saling beresonansi….wallahua'lam. Ini pulalah gambaran dari pengertian belahan jiwa, seperti yang ditafsirkan Surat An-Nisaa' ayat 1 karya Syekh Sayyid Qutb dalam tafsir Fi Zilalil Qur'an. Ayat ini menjelaskan terbentuknya sebuah bangsa. Cinta sesama muslim-pun tergambar dari mekanisme unik ini. Sabda Rasulullah bahwa muslim ibarat satu tubuh, satu sama lain saling membantu dan membutuhkan. Kemudian tidaklah beriman diantara kalian sebelum mencintai saudaranya sebagaimana mencintai dirinya sendiri". Manusia sangat cinta dirinya (ego-nya). Inilah yang hendak ditembus dengan Islam dengan konsep cintanya yang bernilai tinggi. Maka esensi ibadah qur'ban harus mengekspresikan cinta dalam kehidupan sosial, tidak hanya sesama muslim tapi rahmatan lil'alamin.

E. Makna Qurban dalam Psikologi sufistik
Dalam kajian esoterik Islam, peristiwa Qurban memiliki makna simbolik yang teramat dalam, secara terperinci dapat dijelaskan:1. Kita mencontoh keteladanan nabi Ibrahim yang berjuang menundukkan keakuannnya dan cintanya yang mendua untuk diqorbankan dalam satu cinta yang sejati, yaitu cinta kepada Allah Swt. 2. Kita mencontoh Nabi Ismail yang juga berjuang untuk menundukkan keakuan dan idealisme yang kritis untuk tunduk dalam ketaatan pada wahyu ilahi yang diyakini sebagai kebenaran dari Tuhan.3. Menyembelih binatang seperti unta, kerbau, sapi dan kambing mengandung makna hakikat yang begitu dalam. Unta, kerbau, sapi dan kambing merupakan symbol sifat dan karakter kebinatangan, dalam rangka mendekatkan diri kepada Tuhan, maka sekat-sekat kebinatangan tersebut harus disembelih, untuk memuluskan perjalanan menuju ma'rifatullah. Makna seperti ini juga berlaku kepada cerita tentang nabi Khidir yang menyembelih anak kecil yang tidak bersalah, sebenarnya makna hakikatnya adalah menyembelih sifat dan karakter kekanak-kanakan kita. Bukan dipahami sebagai penyembelihan secara fisik melainkan lebih tepat penyembelihan secara psikis terhadap karakter negatif dan sifat ketergantungan yang mendalam pada sesuatu selain Allah. Khidir melubangi perahu agar tenggelam dalam samudera, tidak bias dipahami secara tekstual, melainkan memiliki makna hakikat yaitu perahu dalam bahasa sufistik mengandung makna Fisik, keduniawian, kemelekatan terhadap dunia, dunia berasal dari kata dana-yadni-dunya artinya sesuatu yang rendah dan jauh. Maka perahu sebagai symbol dunia itu harus dilubangi dengan pisau ma'rifatullah agar tenggelam dalam samudera ilmu Allah yang sangat amat luas. Sebagaimana firman-Nya: Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan laut (menjadi tinta), ditambahkan kepadanya tujuh laut (lagi) sesudah (kering) nya, niscaya tidak akan habis-habisnya (dituliskan) kalimat Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.(QS.Luqman: 27) Katakanlah: "Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: "Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan Yang Esa". Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya".(QS. Al-Kahfi:110)

Sedangkan makna Khidir membangun pagar dan rumah yang roboh untuk menyelamatkan mutiara dan pusaka anak yatim. Mengandung makna sufistik yaitu Pagar adalah symbol iman dan aqidah Islam yang benar, ketika iman dan aqidah mulai roboh maka khidir berusaha untuk membangun kembali agar tetap kokoh. Rumah adalah symbol dari Islam, Rumah adalah tempat tinggal yang melindungi penghuninya dari kedinginan dan kepanasan begitu juga halnya dengan islam yang akan melindungi pengikutnya dari kedinginan adzab Allah dan kepanasan api neraka. Mutiara dan pusaka yang diwariskan adalah symbol dua warisan Rasulullah yaitu Kitabullah dan Sunnah Rasulullah. Anak yatim yang dilindungi oleh Khidir adalah symbol ruh, karena ruh ilahiyyah tidak mengenal nasab, tanpa ayah dan tanpa ibu. Nah ruh ilahiyyah inilah yang disebut hidayah.

TAFSIR TENTANG "CAHAYA DI ATAS CAHAYA"

Oleh: Qiro'atut Taslimah [Mahasiswi Institut Ilmu Al-Qur'an (IIQ) Jakarta, Murid Thariqah Al-Ahadiyyah]

Adanya cahaya/sinar adalah merupakan suatu siklus keteraturan alam yang indah, dimanapun kapanpun ternyata sinar/cahaya sangat dibutuhkan oleh makhluk hidup guna melangsungkan kehidupannya, sampai yang lebih spesifik lagi yaitu hati manusia bila tidak ada cahaya yang menerangi maka hati itu akan buta - tidak terlepas dari bangsa dan agama manapun, seperti : biksu, pendeta atau bahkan orang biasa, dll. Namun bagi kaum muslim sudah ada garansi/jaminan bahwa Allah akan senantiasa memberikan bimbingan kepada orang-orang yang beriman untuk mengeluarkan dari alam kegelapan menuju ke alam yang penuh dengan cahaya yang terang benderang (QS.2:257).

Sesungguhnya Allah telah mengilhamkan kepada manusia jalan yang baik/taqwa (dalam bentuk cahaya yang terpatri di dalam lubuk hati sanubari yang paling dalam = IMAN) dan buruk (fujur) dan Allah senantiasa akan menyempurnakan cahaya-Nya yang ada pada manusia bila mereka selalu mengasah/melatih untuk menggunakan segala macam ni'mat yang telah diberikan, walau orang-orang yang berada di alam kegelapan (orang-orang yang memiliki amalan/perbuatannya jauh dari agama atau yang lebih dikenal dengan istilah kafir/kufur atau berbuat musyrik/syirik) membencinya dan tidak senang bila cahaya Allah terpancar di dalam diri setiap orang yang beriman, sebagaimana firman Allah swt : "Yuriiduuna Liyuthfiuu Nuurollahi Biafwahihim Wallohu Mutimmuu Nuurihi Walau Karihal Kafirun (Orang-orang kafir/musyrik itu selalu berusaha ingin memadamkan cahaya-cahaya Allah di dalam diri manusia dengan do'a-do'a dan ucapan-ucapan mereka, akan tetapi Allah swt senantiasa menyempurnakan cahaya-Nya sehingga terhunjam lebih dalam di hati orang yang beriman kepada-Nya)". (QS.61:8).

"Kafir" adalah orang yang ingkar kepada Allah, sedang "Kufur" adalah perbuatannya, dan "Musyrik" adalah orang yang menyekutukan Allah dengan sesuatu, sedang "Syirik" adalah suatu bentuk perbuatan yang mengandung makna menduakan/persekutuan.

Banyak orang Islam yang melakukan perbuatan-perbuatan kufur dan syirik/mempersekutukan Allah tanpa disadari, salah satu contoh : seseorang yang bila mendapatkan kesuksesan atau keberuntungan, lalu dia berkata karena kegigihan dan hasil usahanya semata, maka sebenarnya orang tersebut telah melakukan suatu bentuk perbuatan yang kufur, bisa juga telah berbuat syirik, karena telah meniadakan rahmat Allah yang telah memberikannya rizqi yang berupa keberhasilan.

Jadi sangat penting sekali cahaya bagi kehidupan ini karena dengan adanya cahaya berarti terkandung pula energy di dalamnya, semakin besar dan terang cahaya tersebut berarti semakin banyak pula kandungan energynya, sampai-sampai fisikawan dunia peraih hadiah noble di bidang fisika (Albert Eistein) membuat suatu rumusan : E = MC2 yang berarti : Energy = Massa X Cepat X Cahaya, jadi sangat masuk akal rumusan ini baik secara keilmuan maupun secara tingkah laku manusia di alam jagat raya ini, contoh : bila kita melihat setiap peperangan antara Muslim dan Kafir, pada akhirnya selalu dimenangkan oleh kaum Muslimin karena dinilai lebih berEnergy/memiliki Energy yang sempurna, sebagaimana penjabaran di bawah ini dari kasus di atas :
M = massa/pasukan perang,
C = cepat dalam menghadapi tantangan lawan/musuh, dan
C = cahaya keimanan yang selalu terpatri di dalam hati para pejuang,
tapi ada pengecualian bila setiap pasukan muslim tidak memiliki nilai cahaya keimanan maka akan sama dengan kaum kafir bahkan pasukan muslim pun akan terkalahkan,bahkan lebih parah dan banyak lagi contoh lainnya.

Oleh sebab itu, manfaatkanlah anugerah yang Allah telah berikan kepada kita dan berlatihlah selalu agar cahayanya lebih terang-benderang dan dapat membimbing kita menjadi Insan Kamil (manusia sempurna).

Allah swt dalam Al-Qur'an menyatakan bahwa :
"Allah (pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupuntidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu".(QS.15:35)

TAFSIR MA'RIFATULLAH SURAH AN-NAS [114]: AYAT 1-6

Oleh: Syaikh Al-Akbar Muhyiddin Ibn Arabi[1]

1. Katakanlah: "Aku berlidung kepada Tuhan (yang memelihara dan menguasai) manusia.
2. Raja manusia.
3. Sembahan manusia.
4. Dari kejahatan (bisikan) syaitan yang biasa bersembunyi,
5. Yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia,
6. Dari (golongan) jin dan manusia.

Qul a’ûdzu birobbinnâs, katakanlah aku berlindung kepada Tuhan manusia. Yang dimaksud dengan Tuhan manusia adalah Dzat berikut seluruh sifat-Nya, kenapa Tuhan manusia? Karena manusia sesungguhnya adalah makhluk yang mencakup seluruh tingkatan wujud. Ini berarti bahwa Tuhan pencipta manusiapun. Adalah Dzat berikut seluruh nama-nama yang menjadi pangkal seluruh ciptaan, dzat berikut seluruh nama itu diungkapkan dengan nama Allah karena itu Allah berkata kepada Iblis “Apa yang membuatmu enggan bersujud dengan apa yang aku ciptakan dengan kedua tanganku?”. Yang dimaksud dengan kedua tanganku adalah dengan sifat-sifat yang saling berlawanan. Seperti sifat kelembutan dengan kemurkaan, sifat keindahan dengan keagungan, yang kedua-duanya meliputi nama-nama Tuhan itu. Allah memerintahkan agar berlindung dengan Wajah-Nya [Liqa’ Allah], setelah berlindung dengan sifat-sifat-Nya. Karena itu surah ini diletakkan setelah surah Al-Falaq. Sebab di dalam surah al-mu’awwidah pertama, nabi memohon perlindungan di dalam maqam sifat dengan namanya yang maha pemberi petunjuk (Al-Hadi), lalu Allah menunjukinya kea rah dzat-Nya.

Kemudian Allah menjelaskan kata Tuhan manusia (Rabb An-Nas) dengan kata raja manusia (Maliki Al-Nas) yang terdapat dalam ayat 2. Ini menunjukkan bahwa kata kedua sebenarnya adalah penjelas (athaf bayan) bagi kata pertama, karena yang namanya raja adalah dialah yang menguasai nama dan urusan-urusan mereka dilihat dari segi kefanaan. Mereka di dalam Tuhan. Ini dijelaskan oleh firman-Nya kepunyaan siapakah kerajaan hari ini?. Kepunyaan Allah yang Maha Esa dan perkasa. Sebab raja pada hakikatnya adalah yang Esa dan Perkasa yang menguasai segala wujud sesuatu, kemudian menyayanginya.

Ilahinnas (sembahan manusia), ayat ini untuk menjelaskan keadaan baqa’ mereka setelah fana’, karena kata ilah (tuhan) adalah yang disembah secara mutlak. Itulah dzat berikut seluruh sifatnya, dilihat dari sudut pandang akhir perjalanan nabi Saw. Nabi berlindung dengan sisi mutlak Tuhan, lalu Dia fana’ di dalamnya. Dan tampaklah Dia sebagai Raja, kemudian Tuhan mengembalikan Nabi kepada wujud semula untuk menyembahnya. Sehingga Tuhan selamanya adalah yang disembah. Dengan demikian sempurnalah permohonan perlindungan Nabi kepada Tuhan.

Min syarril was wâsil khannâs (Dari kejahatan bisikan setan) ayat 4, sebab bisikan menuntut adanya tempat yang bersifat wujud seperti disebutkan dalam ayat selanjutnya yang membisikkan kejahatan ke dalam dada manusia (Al-Ladzî yuwaswisu fî shudûrinnâs) ayat ke 5. Sedangkan dalam keadaan fana’. Tidak ada wujud. Tidak ada dada, tidak ada bisikan, tidak ada pembisik, tetapi yang muncul di sana adalah ketergoyahan (talwin), karena adanya wujud egoisme. Karena itu katakanlah wahai Muhammad: Aku berlindung kepadamu darimu.Maka ketika Tuhan menjadi sembahan dengan adanya penyembah, maka setanpun muncul dengan munculnya penyembah, seperti halnya setan, pertama kali ada, karena adanya penyembah.

Kata al-was-was adalah kata benda (bisikkan). Sang pembisik (al-muwas-wis disebut bisikan) karena godaannya yang terus menerus sedemikian melekat godaan itu pada dirinya sehingga ia adalah bisikkan itu sendiri.Nabi memohon pertolongan dari bisikkan itu dengan kata ilah, Dan bukan dengan sebagian namanya seperti dalam surat al-mu’awwidah pertama (al-falaq), semata-mata karena setan bisa menentang yang maha Pengasih (Ar-rahman) serta menguasai seluruh bentuk manusiawi dan suka menjelma (dalam bentuk seluruh nama-nama Tuhan). Kecuali nama Allah. Nabi berlindung dari bisikkan itu tidak cukup dengan nama al-Hadi, Al-Alim, Al-Qadir dan sebagainya, melainkan langsung dengan ilah, yang mencakup Dzat berikut seluruh sifatnya. Jadi jika dalam surah Al-Falaq, nabi berlindung dengan Tuhan Penguasa subuh. Maka dalam surah An-Nas, beliau berlindung dengan Tuhan manusia. Dari sini bisa dipahami makna sabdanya, siap yang bermimpi bertemu denganku, maka benar-benar bertemu denganku, karena setan tidak bisa menjelma meneyerupaiku, artinya karena beliau telah sempurna berlindung dengan nama yang tidak bisa ditiru setan yakni nama Allah, maka setanpun tidak bisa menyerupai Nabi saw.

Al-Khannas (yang biasa bersembunyi-ayat 4). Jelasnya adalah yang kembali (setelah mundur). Sebab setan tidak bisa membisikkan kecuali kalau yang terbisik dalam keadaan lupa. Karena itu setiap kali seseorang sadar dan mengingat Allah, maka setanpun akan terpukul mundur, sebab kata khannas (yang seakar kata dengan khannas) adalah kata benda yang menunjukkan kebiasaan, seperti kata waswas juga. Dari Said bin jabir: ” Jika seorang manusia mengingat Tuhannya, maka setan akan terpukul mundur dan kabur, dan jika ia lupa maka setan kembali membisikkannya.” Kalimat ”dari jin dan manusia” (minal jinnati wa al-nas) adalah penjelas untuk kalimat ”yang membisikkan (kejahatan)”. Sebab sesungguhnya pembisik dari kalangan setan itu ada dua macam: pertama, tersembunyi dan tidak kasat mata seperti wahm; kedua: bersifat manusiawi, berbentuk manusia yang kasat mata, seperti individu-individu yang menyesatkan.

Celakanya, setan bisa menggoda dengan menjelma seperti orang yang memberi petunjuk dalam bentuk nama Al-Hadi. Ini misalnya terlukiskan dalam firman-Nya: Sesungguhnya engkau datang kepada Kami dari sebelah kanan. Karena itu ,terhadap setan yang menjelma dalam bentuk nama lainnya (selain Al-hadi dari nama-nama Tuhan),maka permohonan perlindungan dari setan itu tidaklah sempurna kecuali dengan nama Allah. Sebab Allahlah Yang Maha melindungi.
[1] Diterjemahkan oleh KH.Shohibul Faroji Al-Robbani dari Tafsir Al-Qur’an Al-Azhim Ibnu Arabi, Jilid 2

Senin, 20 Agustus 2007

TAFSIR SURAH AL-BAQARAH AYAT 27-29

Oleh: Syaikh Al-Akbar Muhyiddin Ibn Arabi [Mursyid Thariqah Al-Ahadiyyah]
“Yaitu orang-orang yang melanggar perjanjian Allah sesudah perjanjian itu teguh, dan memotong apa yang telah diperintahkan Allah (kepada mereka) untuk menghubungkannya dan membuat kerusakan dimuka bumi. Mereka itulah orang-orang yang rugi.”Ayat ini masih menjelaskan tentang predikat orangn-orang kafir, orang fasik dan orang-orang munafik. Mereka memiliki karakter yang sangat jelas, yaitu sikap untuk terus menerus melanggar komitmen yang sudah disepakati bersama, bahkan memiliki kecendrungan untuk memutuskan jalan bagi berlakunya perintah-perintah Allah, dengan suatu kepentingan, agar struktur dunia ini hancur, buni ini gonjang ganjing, dan bahkan pada akhirnya sejarah mencatat mereka sebagai golongan orang-orang yang ememtik kerugian besar.Dalam perjalanan batin kita menuju kepada Allah, senantiasa muncul nafsu-nafsu untuk melanggar aturan-aturan dunia samawat (langit), yang sesungguhnya telah jadi kesepakatan dan kita teguhkan dizaman “azali” dulu, bahwa kita senantiasa akan berselaras dengan Perjanjian Ilahiah (‘Ahdullah) ketika itu. Tetapi orang yang tertutup hatinya oleh kegelapan duniawi, yang ditegakkan oleh ambisi dan nafsu, maka Perjanjian Ilahiah tertutup dari jati diri kita, rahasi batin kita, sehingga justru nafsu itu ingin mengabaikan aturan-aturan Ilahiah yang murni dan hakiki.Allah memberikan gambaran, bahwa kecendrungan itu akan mengakibatkan kerusakan dubia dan bumi ini, karena manusia melanggar kekhalifahan dirinya, yaitu jabatan yang telah diberikan Allah dalam “konstitusi ruhani” dialam ‘azali dulu.Kekhalifahan yang tercerabut, akhirnya memunculkan “kekhalifahan semu” yang emnjadi alat penghancur bumi, alat kefasikan dan kemunafikkan, alat dunia lahiriah dengan segala daya tariknya. Ayat ini sekaligus menjadi penghantar bagi “jabatan” kekhalifahan manusia itu sendiri, yang sesungguhnya setiap manusia adalah khalifah. Kekhalifahan hanya bias mawjud manakala seseorang benar-benar menjadi hamba Allah, hamba dalam kefanaan dirinya, fana’ul fana’ dan baqa’ bersama Allah. Itulah bagian dari kekhalifahan sufistik, dimana pelanggaran-pelanggaran atas wilayah ruh yang bersumber dari wilayah amr seringkali dipotong oleh kefasikkan-kefasikan jiwa kita.Ayat selanjutnya menegaskan :“Bagaimana kamu bisa kafir kepada Allah, sedangkan kamu tadinya mati, lalu Allah menghidupkan kami, kemudian kamu dimatikan dan dihidupkannya kembali, kemudian kepada-Nyalah kamu dikembalikan ?”“Dialah Allah yang menjadikan segala yang ada dibumi untuk kamu dan dia berkehendak menuju langit, lalu dijadika-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.”Sebelum ada kehidupan didunia ini, semula kita ini mati. Lalu dihidupkan kembali oleh Allah SWT. Allah mematikan lagi, lalu menghidupkan lagi akhirat nanti. Kemudian semuanya kita kembali kepada Allah.Kealpaan manusia untuk kembali kepada Allah semakin ditebalkan oleh hijab dengan ciptaan-ciptaan. Padahal, sesungguhnya ada tujuh lapisan cahaya, tujuh lapisan jiwa dan lapisan-lapisan dalam alam samawat lainnya, yang sangat erat hubungannya dengan makna spiritual.

TAFSIR SURAH AL-BAQARAH AYAT 25-26

Oleh: Syaikh Al-Akbar Muhyiddin Ibn Arabi [Mursyid Thariqah Al-Ahadiyyah]
“Dan berilah kegembiraan orang-orang yang beriman dan orang-orang yang beramal saleh, bahwa mereka mendapatkan surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. Setiap mereka diberi rizki buah-buahan dalam surga-surga itu, mereka mengatakan, “Inilah yang pernah diberikan kepada kami dahulu.” Mereka diberi buah-buahan yang serupa dan untuk mereka di dalamnya ada istri-istri yang suci dan mereka kekal di dalamnya.” “Sesungguhnya Allah tiada malu membuat perumpamaan berupa nyamuk atau yang lebih rendah dari itu. Adapun orang-orang yang beriman, maka mereka yakin bahwa perumpamaan itu benar dari Tuhan mereka, tetapi mereka yang kafir, “Apakah maksud Allah menjadikan ini untuk perumpamaan ?” Dengan perumpamaan itu banyak orang yang disesatkan Allah, dan dengan perumpamaan itu banyak orang yang diberi-Nya petunjuk Allah. Dan tidak ada yang disesatkan Allah kecuali orang-orang yang fasik.”Ayat di atas menggambarkan bagaimana sebuah kesadaran ruhani hanya bisa diraih oleh orang yang beriman dan beramal saleh. Sementara Allah juga menampakkan adanya sebuah maqam, di mana ilmu-ilmu Ilahiah mengalir, yang digambarkan sebagai bengawan-bengawan surgawi. Bahwa sungai atau bengawan itu, dalam perspektif kehidupan dunia, memang merupakan pandangan yang teramat indah, di samping sungai-sungai memang memberikan aliran kehidupan yang bisa dijadikan perangkat bagi tumbuhnya tanaman-tanaman dan kemakmuran.Ketika mereka diberi limpahan rizki berupa buah maqamat (tahapan ruhani), seperti limpahan syukur, taubat, ridla, ketaqwaan, dzikir, qana’ah, zuhud, mahabbah dan ma’rifah, tiba-tiba mereka teringat betapa buah maqamat itu sesungguhnya pernah ia lihat sebelumnya ketika dalam kehidupan dunia. Namun kehidupan dunia telah berbaur dengan nafsu yang menghijabinya, menutup dengan tirainya, sampai akhirnya nuansa hati yang sebenarnya sirna.Hikmah-hikmah Ilahiah, yang hilang sepertinya ditemukan kembali dalam aliran sungai ma’rifah itu. “Al-Hikmatu Dlaallatul Mu’min.” (Hikmah adalah hilangnya barang berharganya orang yang beriman). Jadi hikmah yang hakiki itu baru didapatkan kembali ketika ia mulai mendapatkan kiriman buah-buah maqamat jiwa di dalam surga.Sementara itu istri-istri yang digambarkan sebagai bidadari yang suci. Maksudnya adalah jiwa-jiwa keindahan yang suci yang tercermin dalam sosok-sosok bidadari. Jiwa yang tidak terasuki nafsu dan syetan serta watak-watak duniawiah dan kotornya anasir-ansir duniawi lainnya.Sedangkan ayat selanjutnya, mengenai pernyataan Allah Ta’ala bahwa Diri-Nya tidak segan membuat perumpamaan dengan sebuah misal tentang nyamuk, pada hakikatnya adalah kritik yang halus betapa sesungguhnya orang-orang kafir itu lebih hina dibanding nyamuk sekali pun. Sebab sayap-sayap kafir yang diperumpamakan nyamuk itu, adalah bersayap duniawiah. Tetapi perumpamaan itu dianggap bukan sebagai kebenaran oleh orang-orang yang sesat, yang digambarkan sebagai kalangan fasik. Yakni kefasikan mereka akibat mereka sendiri telah keluar dari alam kalbu menuju alam nafsu.Kalangan fasik ini nilainya memang sedikit rendah dibanding kalangan kafir. Namun bahwa pembangkangan mereka itulah yang menyebabkan mereka terjerumus dalam kekafirannya. Kefasikannya telah membuatnya sesat, dan sesatnya berada dalam kegelapan yang mencekam, hanya karena mereka ingkar atas datangnya al-Qur'an. Maka semakin tambah jauh, semakin gelap, semakin gulita.Allah memang sering membuat perumpamaan-perumpamaan untuk lebih mudah difahami. Karena itu orang yang memang memiliki keimanan yang dalam akan senantiasa menyatakan betapa perumpamaan itu memang datang dari Allah SWT. Hanya sebuah kefasikan saja yang menghalangi seseorang untuk melihat suatu anugerah pengetahuan dan hikmah Ketuhanan.

TAFSIR SURAH AL-BAQARAH AYAT 23-24

Oleh: Syaikh Al-Akbar Muhyiddin Ibn Arabi [Mursyid Thariqah Al-Ahadiyyah]

“Jika kamu sekalian dalam keraguan terhadap apa yang Kami turunkan terhadap hamba Kami, maka datangkanlah satu surat (saja) yang sepadan dengannya, dan undanglah para saksi-saksi kamu selain Allah, jika kamu termasuk orang-orang yang benar.”“Maka apabila kamu belum berbuat dan tidak melakukan, maka takutlah pada neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, yang disediakan untuk orang-orang kafir.”Ayat ini masih terkait dengan ayat-ayat sebelumnya. Allah masih membicarakan masalah iman dan kekafiran, ibadah dan akibat dari penolakan terhadap keimanan itu sendiri. Di samping itu, faktor-faktor hijab yang menutupi mata hati mereka sehingga mereka berani menentang atau ragu-ragu terhadap ayat Allah masih kental dalam ayat di atas.Akal manusia memiliki kreasi berfikir secara sistematis, sehingga berkembang bersama nafsu untuk membuat sistem tandingan, termasuk keinginan menandingi ayat-ayat al-Qur’an. Di sana mulai muncul keraguan-keraguan atau skeptisisme, yang mempertanyakan keyakinan atas Eksistensi Allah SWT. Padahal Allah Ta’ala juga Maha Tahu jika manusia tidak akan mampu menandingi-Nya dalam manifestasi Sifat maupun Af’aal-Nya.Keraguan itu merembet pada Hak Kenabian Muhammad SAW, hanya karena Muhammad SAW, manusia biasa, seperti mereka pula. Tetapi mereka lupa, bahwa posisi pilihan Allah Ta'ala kepada Muhammad SAW, sebagai Nabi dan Rasul mengandung rahasia besar yang tak bisa mereka ungkapkan. Di sinilah mereka terhijab oleh pemikiran dan logikanya sendiri. Logika yang biasanya didasarkan melalui sistematik-matematik, sebab akibat sejarah, fenomena-fenomena eksperimental, dan bukti-bukti rasional. Secara tegas Allah memberikan ancaman, manakala kamu sekalian tidak mampu berbuat sebagaimana tantangan Allah, maka kalian harus beriman dan ber-Islam, menghindari sikap keras kepala yang menjerumuskan kalian pada neraka. Dan neraka itu memang bahan bakarnya manusia dan batu. Api neraka bisa menyala-nyala jika diberi bahan bakar manusia dan batu. Maksudnya, nafsu manusialah yang menyalakan api itu hingga berkobar, nafsu yang terus menerus mengeras, berubah seperti batu, dan semakin panas. Panasnya nafsu dan kerasnya hati yang membatu, telah menjadi tirai yang menghalangi keyakinan manusia yang kafir kepada Allah Ta’ala. Akhirnya secara spiritual ia tersiksa oleh kobaran nafsunya sendiri.Kecintaan manusia pada materi duniawi, telah menghalangi kecintaannya kepada Allah SWT. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW: “Seseorang akan dikumpulkan beserta yang dicintainya, bahkan seandainya ia mencintai batu sekali pun, ia akan bersama batu itu.”Lalu apa yang diandalkan manusia dalam proses ruhaninya ketika kecintaannya tertumpu selain Allah dan Rasul-Nya? Apa yang bisa digambarkan seseorang bisa bertemu Allah jika dalam hatinya penuh dengan gambaran-gambaran duniawi ini ?.Karena itu Allah mengakhiri ayat tersebut, dengan kalimat “U’iddat lil-Kaafirin”. Bahwa neraka itu disediakan untuk orang-orang kafir, semata karena orang kafir itu telah terputus dan terhijab dari cita-cita luhur mereka, dengan mengabaikan Allah sebagai Tuhan mereka.

TAFSIR SURAH AL-BAQARAH AYAT 21-22

Oleh: Syaikh Al-Akbar Muhyiddin Ibn Arabi [Mursyid Thariqah Al-Ahadiyyah].
“Hai manusia sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan (menciptakan) orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air hujan dari langit, lalu menumbuhkan dengan hujan itu, buah-buahan sebagai rizki bagi kamu. Maka janganlah mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, sedangkan sebenarnya kamu tahu (itu)”Pada ayat sebelumnya Allah membicarakan tentang orang-orang yang bahagia dan orang-orang yang celaka. Kemudian Allah mengajak ummat manusia untuk bertauhid. Awal dari tahap Tauhid adalah Tauhid Af’aal . Karena itu Allah mengaitkan antara Ubudiyah dengan Rububiyah, agar para hambaNya menikmati wahananya dengan melihat kenikmatan itu sendiri, sehingga para hamba tumbuh rasa cinta kepadaNya, sebagaimana dalam hadits Qudsi, “Maka Aku memnciptakan makhluk, dan Aku buat mereka mencintaiKu melalui nikmat(Ku).” Ibadah yang diperintahkan oleh Allah swt, semata juga dalam kerangka menghilangkan salah satu dari Hijab yang menghalangi hubungan hamba dengan Allah. Hijab pertama adalah Hijab Af’aal, kemudian Hijab Sifat dan Hijab Dzat, melalui tahap pertama, yaitu Tajallinya Af’aal Allah. Sebab, makhluk itu terhijabi untuk melihat ketiga-tiganya : Af’aal, Sifat dan Dzat, terhalangi oleh semesta kemakhlukan.Di dalam ayat tersebut dijelaskan bagaimana Allah memerintahkan beribadah pada hambaNya, dengan menggambarkan latar belakang, seputar penciptaan, fungsi bumi dan langit, kemakmuran akibat yang ditimbulkan bumi dan langit, dan rizki dibalik penciptaan itu. Namun, manusia terhalangi pandangannya sehingga merasa bahwa langit dan bumi seisinya itulah yang bisa diandalkan sebagai tempat berpijak, tempat bergantung dan sumber rizki. Padahal semua itu dari Allah swt. Artinya, Allah Ta’ala-lah yang mengerjakan semua itu, menciptakan semua itu dan memanage semuanya. Berarti tidak benar beribadah, kecuali hanya untukNya dan kepadaNya.Allah-lah yang berhak disembah, sehingga manusia hanya menyembah kepadaNya. Ibadah hanya sah bagi hamba, dan tertuju kepada Pencipta hamba. Karena itu sang hamba harus mengenal Penciptanya, dimana, Allah bertajalli melalui ciptaanNya. Tajallinya Allah bukan penyatuan WujudNya dengan wujud makhlukNya yang disebut dengan pantheisme. Tetapi, Tajallinya Allah adalah penampakan yang disaksikan oleh Jiwa Terdalam dari para hambaNya, dan karena itu, seperti dalam hadits, “Siapa yang mengenal jiwanya maka ia mengenal Tuhannya.”Allah menurunkan air dari langit. Maksudnya, Allah menurunkan Air Tauhid Af’aal Allah, lalu air itu menyebabkan tumbuhnya sikap pasrah total kepadaNya dari bumi hatinya. Disamping air itu juga menumbuhkan amal-amal dan kepatuhan, juga akhlak hasanah, agar menimbulkan rizki hati yang menumbuhkan buah-buah keyakinan, kondisi-kondisi ruhani yang luhur dan maqamat, seperti sabar, syukur dan tawakkal.Inilah yang kemudian, dibutuhkannya Risalah (Kerasulan) untuk menjembatani hubungan antara hamba dengan Allah, sebagaimana dibutuhkan jasad untuk suatu kerangka bagi jiwa kita. Risalah itu berfungsi untuk pertemuan Kalimat-kalimat Ilahi dalam hati dari ruhnya.Proses demikian, akan menghilangkan keragu-raguan atau pun dualitas dalam spirit kehambaan. Sebab tujuan utama dari penyembahan kepada Allah adalah ketaqwaan. Sedangkan taqwa itu sendiri merupakan sebuah prestasi atau maqam ruhani, dimana rahasia ruh seorang hamba sama sekali tidak terpisah dari Allah, sedangkan jasadnya bergerak menjalankan aturan-aturanNya.Ketaqwaan itu sendiri berarti manifestasi Tauhid kehambaan. Tauhid dalam arti yang hakiki, adalah perwujudan Syahadatain, yaitu penyaksian kepada Kemahatunggalan Allah dan hakikat Muhammad itu sendiri.

TAFSIR SURAH AL-BAQARAH AYAT 17-20

Oleh: Syaikh Al-Akbar Muhyiddin Ibn Arabi [Mursyid Thariqah al-Ahadiyyah]
Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api, maka setelah api itu menerangi sekelilingnya, Allah hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka, dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat. Mereka tuli, bisu dan buta, maka mereka tidaklah kembali (ke jalan yang benar).Ayat di atas menggambarkan fenomena hipokrisisme (tradisi maniak kemunafikan), yaitu digambarkan sebagai pihak yang mencoba menyalakan propagandanya, penyesatan opininya, lalu tiba-tiba Allah menghapus begitu saja api itu, sehingga mereka tergelantung dalam kegelapan yang memilukan.Dinding atau hijab antara diri mereka dengan Allah yang mereka bangun, adalah bentuk lain dari egoisme yang sangat menyedihkan. Mereka merasa benar, tetapi sekaligus juga tidak memiliki ketulusan jiwa. Lalu, mengapa Allah menghapus begitu saja cahaya yang mereka nyalakan itu ?.Ketulian telinga hati, kebisuan lisan kalbu, dan butaan mata hati, membuat mereka tidak mampu kembali kepada Allah. Sehingga Allah menghapus cahaya yang mereka nyalakan secara semu, karena penggambaran api itu, menunjukkan adanya gambaran neraka yang mereka simpan dalam kalbu, lalu mereka nyalakan sebagai lambang kebenaran. Tetapi kegelapan batin telah membuat mereka seperti semut hitam dalam kegelapan yang sangat sulit diduga, dan semut itu telah terkaburkan matanya, karena terhempas debu-debu yang mengelilinginya.Kita bisa mengambil hikmah, bahwa untuk keluar dari dilema kemunafikan, seseorang haruslah berani membuka kejujuran hatinya, mengatakan al-Haq sebagai manifestasi dalam dirinya, cahaya hatinya memancarkan cahaya-Nya.Suatu klaim, bahwa seseorang yang berani meyakini bahwa gerak-gerik lahir dan batinnya lepas dari “Gerak-gerik” Allah, berarti orang itu mulai menumbuhkan benih asli dari kemunafikan itu sendiri. Kelak, pasti menimbulkan sikap mendua atau dualisme, antara haq dan batil dalam jiwanya, penuh dengan rekayasa, bahwa kebenaran itu bisa direkayasa sebagai sesuatu yang muncul dari kebatilan. Sebaliknya kebatilan bisa direkayasa dari nilai-nilai kebenaran. Itulah awal hipokrisisme.Selanjutnya Allah SWT masih membuat proyeksi aktivitas kaum munafik ini dalam firman selanjutnya:“atau seperti (orang yang ditimpa) hujan dari langit, di dalamnya penuh kegelapan, gemuruh petir dan kilat. Mereka menyumbat telinganya dengan anak jarinya karena ptir itu, karena takut mati. Dan Allah meliputi orang-orang kafir. Hampir-hampir kilat itu menyambar mereka. Setiap kilatan itu menyinari mereka, mereka berjal;an di bawah cahaya itu, dan bila gelap menimpa mereka, mereka berhenti. Jikalau Allah menghendaki, niscaya Dia melenyapkan pendengaran mereka dan penglihatan mereka. Sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu.”Orang munafik selalu menjadi oportunis. Ia menghindar dari kebenaran, manakala kebenaran itu tidak menguntungkan nafsunya. Dan ia memilih kegelapan bila kegelapan itu mendukung nafsunya. Gambaran kegelapan dan guruh serta kilat yang menyala-nyala, adalah gambaran kebenaran yang hendak menyambar kebatilan dalam jiwanya. Tetapi mereka tidak mampu menerima kebenaran itu, sebab kebenaran dalam jiwa kaum munafiqin teramat pahit dan menyakitkan.Mengapa Allah tidak melenyapkan saja mereka itu? Kehadiran kaum munafik di lingkungan kita, semata-mata sebagai ujian bagi kita, sejauhmana kita mengambil hikmah dari tragedi hidupnya.Kita juga bisa mengambil pelajaran, dalam menempuh jalan ruhani atau jalan sufi, manakala dalam jiwa kita masih ada sesuatu selain Allah, berarti kita masih menghuni sebuah pulau kegelapan dari benua Ilahiah kita, yang ada dalam kalbu kita.Hati adalah Rumah Ilahi, manakala terisi sesuatu selain Allah, kemunafikan kalbu kita akan menggoyahkan mata hati, pendengaran hati, dan lisan hati, ketika menghadap kepada Allah SWT.

TAFSIR SURAH AL-BAQARAH AYAT 12-16

Oleh: Syaikh Al-Akbar Muhyiddin Ibn Arabi [Mursyid Thariqah Al-Ahadiyyah]
“Ingatlah, sesungguhnya mereka, adalah kalangan yang melakukan pengrusakan (di muka bumi), tetapi mereka tidak mengerti. Apabila dikatakan pada mereka, “Berimanlah! sebagaimana orang-orang beriman,” mereka mengatakan, “Apakah kami beriman sebagaimana yang dilakukan orang-orang bodoh ?”. Ingatlah! sesungguhnya mereka itu, adalah golongan bodoh, tetapi mereka tidak tahu.”Pribadi ganda orang-orang yang munafik senantiasa menyelimuti dirinya dengan kedustaan. Mereka terhijab dari kebenaran nuraninya paling dalam, sehingga memiliki keberanian dusta. Oleh sebab itu, dalam konteks yang lebih mendasar, mereka yang seringkali mengibarkan keimanan, nama Allah, bahkan Islam, tetapi hatinya penuh dengan kebusukan, seringkali memunculkan klaim bahwa dirinya paling Islam dan paling beriman, di samping menganggap yang lain kurang Islami dan kurang Imani. Klaim itulah yang menimbulkan wahana yang memunculkan anggapan dusta, bahwa orang lain itu hanya memiliki keimanan sebagaimana yang dilakukan orang-orang bodoh. Sementara kebodohan yang hakiki justru menempel di benak mereka.Pada ayat tersebut dikatakan, bahwa mereka justru kaum bodoh. Lalu di mana kebodohan munafiqin itu? Kebodohan itu terletak pada :
Ketakutan mereka terhadap kebenaran yang hakiki, yaitu tauhidullah dan ma’rifatullah.
Adanya hijab yang mereka pelihara sebagai kenikmatan. Hijab duniawi yang menghalangi hubungan mereka dengan Allah SWT.
Kesombongan mereka yang mengarah pada sikap egoismesentris, sehingga muncul pemberhalaan terhadap “keakuannya”. Kesombongan adalah awal dari kebodohan, dan kebodohan adalah arogansi yang menyeret pada sikap terbelah dalam egonya.
Mereka tidak mengerti, sekaligus juga tidak tahu. Artinya mereka tidak memiliki rasa cinta, kasih sayang, rasa malu, rasa bersalah, dan rasa mengabdi kepada Allah, disebabkan mereka tidak memiliki keyakinan yang teguh. Mereka yang tidak memiliki keyakinan teguh, berarti tidak memiliki pengetahuan itu sendiri.
Ketakutan terhadap diri mereka sendiri, ketika mereka berhadapan dengan cermin kebenaran.Lima elemen inilah yang kemudian tergambar dalam ayat berikutnya:“Ketika mereka bertemu dengan orang-orang yang beriman, mereka mengatakan, “Kami telah beriman.” Namun ketika mereka masuk dalam kelompok sesat mereka, mereka mengatakan, “Kami tetap bersama kalian, sesungguhnya kami hanya mengina (mereka saja). Allah menghina mereka dan menyeret mereka dalam kesesatan mereka sehingga mereka buta (hatinya)”. Mereka itu adalah orang-orang yang menjual kesesatan dengan hidayah, maka, mereka perdagangan mereka tidak membawa keberuntungan, dan mereka tidak mendapat petunjuk.Kalangan munafik secara sufistik, juga muncul di kalangan mereka yang sok sufi. Mereka seringkali mengatasnamakan sufi ketika memasuki kalangan dunia sufi, tetapi mereka hanya ingin mencurigai tasawuf, sekaligus menghinanya ketika mereka kembali ke kelompoknya. Jual beli dengan Allah, sesungguhnya adalah bermu’amalat dengan Allah, yaitu melaksanakan amaliah sesuai dengan kontrak ubudiah di zaman ‘azali dulu. Tetapi karena mu’amalat itu tertutup oleh hijab, maka ubudiah itu hanya verbal belaka.Banyak kalangan yang merasa menjadi sufi hanya karena mendalami dan membaca kitab atau buku-buku tasawuf. Padahal munculnya perasaan demikian tidak lebih dari nafsu yang memperdayainya sendiri, sehingga seakan-akan ia telah sampai pada batas sufisme, namun baru pada tahap mendengar atau menyimaknya belaka.Di samping itu, banyak kalangan yang merasa paling mendapat hidayah, sementara mereka sendiri sebenarnya telah memperjualbelikan hidayah dengan kesesatan mereka. Ketika mereka mengandalkan syari’at, sebagai sikap yang arogan, seakan-akan merekalah yang mendapatkan hidayah itu, sementara dunia hakikat mereka tinggalkan, namun mereka sudah merasa mencapai hakikat. Dan sebaliknya, mereka yang memasuki dunia hakikat, tetapi meninggalkan syari’at, merasa paling berhak mendapat hidayah, sehingga memunculkan sikap anti syari’at. Hakikat dan syari’at bukan simbol, tetap[i perilaku, dimana keduanya tidak boleh berpisah. Begitu seseorang memisahkan diri dengan segala keyakinannya, maka orang tersebut bisa terjebak dalam perilaku kemunafikan itu sendiri. Akibatnya tidak memiliki keberuntungan kedua belah pihak.

TAFSIR SURAH AL-BAQARAH AYAT 10-11

Oleh: Syaikh Al-Akbar Muhyiddin Ibn Arabi [Mursyid Thariqah Al-Ahadiyyah]

“Dalam hati mereka ada penyakit, maka Allah pun menambah penyakit mereka itu, dan bagi mereka adalah siksa yang pedih atas apa yang mereka dustakan. Apabila dikatakan pada mereka, “Janganlahn kalian membuat kerusakan di muka bumi!”, malah mereka menjawab, “Sebenarnya kami ini adalah golongan pembaharu (reformis) kebaikan.”“Dalam hati mereka ada penyakit”, dimaksudkan adalah penyakit keraguan dan kemunafikan. Penyakit yang sudah mendarah daging dalam jiwa mereka ini. Kemudian Allah menambah penyakit hatinya, yaitu berupa penyakit dengki, dendam dan keras kepala, dengan cara menggembar-gemborkan kalimat Allah, mengatasnamakan agama, atas nama atau demi Rasul dan kaum beriman, bahkan atas nama Allah, atas nama Islam, sementara jiwa mereka penuh dengan kebusukan, kehinaan dan kotoran-kotoran yang menjijikkan. Semua itu adalah penyakit jiwa.Dengan kata lain, mereka sedang sakit jiwa, tetapi mengaku paling waras, paling bersih dan paling benar. Sementara kecemburuan, kedengkian dan iri hati benar-benar telah mendarah daging dalam hatinya. Allah memberikan ancaman mereka dengan siksa yang teramat pedih. Siksaan jiwanya sebenarnya telah menggelapi hatinya, siksaan hijab keraguan dan kemunafikan yang menghalangi hubungan jernih antara dirinya dengan Allah.Karakteristik kemunafikan itu muncul dari elemen-elemen sifatnya, yang kelak menumbuhkan sifat baru, berupa kecenderungan-kecenderungan adu domba, menciptakan kerisauan sosial, demi ambisi pribadi dan kelompoknya. Ambisi itu sebagai penyakit lain yang tumbuh dari elemen kemunafikan tersebut, tujuan utamanya adalah menguasai duniawiyah, atas nama akhirat, atas nama agama dan atas nama Allah.Tetapi ketika mereka diajak memasuki iman yang hakiki, diajak untuk memasuki jalan Ilahi yang lebih esensial, mereka justru merasakan bahwa ajakan itu sebagai kekeliruan dan bahkan secara main-main mereka menyatakan dirinya sebagai reformis, pembaharu dan pencipta kebajikan. Padahal justru mereka itu menciptakan kerusakan dan kehancuran di muka bumi, hanya saja, karena hijab ruhani yang menutupi jiwa mereka, akhirnya malah mereka tidak memiliki rasa kebajikan itu sendiri. Yang ada adalah rasa kejahatan yang dianggapnya sebagai pendukung yang layak bagi gerakannya.Kenikmatan duniawi, sifat-sifat buruk, predikat kehinaan yang menempel pada diri mereka adalah hijab yang teramat tebal untuk mengingat kehidupan akhirat. Sesuatu yang menyakitkan manakala jiwa mereka diingatkan akan kehidupan hakiki di akhirat, apalagi diingatkan akan hakikat Ilahi. Siapa pun yang memiliki karakteristik seperti itu akan sulit menerima kebaikan Allah, karena kebaikan itu tidak akan tumbuh dalam jiwa yang sakit.

TAFSIR SURAH AL-BAQARAH AYAT 6-9

Oleh: Syaikh Al-Akbar Muhyiddin Ibn Arabi [Mursyid Thariqah Al-Ahadiyyah]

Sesungguhnya orang-orang yang kafir, apakah mereka telah engkau beri peringatan atau belum, mereka tetap tidak beriman. Allah telah memberi cap (tanda) pada hati mereka, juga pada pendengaran mereka, serta pada mata mereka, suatu ghisyawah. Dan mereka berhak mendapatkan siksa yang besar. Di antara manusia ada segolongan orang yang berkata, “Aku telah beriman kepada Allah dan hari akhir.” Padahal mereka itu tidak beriman. Mereka telah memperdayai Allah, dan orang-orang yang beriman. Sesungguhnya mereka itu tidak memperdayai kecuali memperdayai diri mereka sendiri, sedangkan mereka ini tidak merasa (demikian).”Allah Ta’ala menjelaskan posisi manusia-manusia yang ingkar kepada-Nya. Kelompok pertama di antara mereka ini disebut sebagai golongan Asyqiya’, yaitu mereka yang mendapatkan apa yang disebut dengan Qahrul Ilahi (kediktatoran Ilahi). Mereka ini tidak bisa diselamatkan melalui peringatan, bahkan tak ada jalan lain untuk membersihkan mereka dari neraka.Mereka itulah yang mendapatkan terpaan Kalimat Tuhan, bahwa mereka tidak bisa beriman. Sebagaimana orang-orang kafir yang mendapatkan cap sebagai penghuni neraka. Jalan-jalan kebajikan ditutup untuk mereka, serta pintu-pintu Tuhan ditutup untuk mereka.Sebab hati adalah elemen perasa yang mampu menyentuh Perasaaan Ilahi yang menjadi wahana bersamayamnya Ilham. Lalu Allah menghijab mereka melalui tanda-Nya. Sementara indera pendengar dan penglihatan merupakan indera yang bersifat manusiawi. Keduanya merupakan instrumen untuk memahami obyek dan subyek. Namun kedua instrumen itu pun tertutup, sehingga tidak mengalir dalam hati, hingga tidak mampu menyingkap kedalaman batin, yaitu Dzauqul Kasyfi (rasa keterbukaan jiwa), sementara secara empirik tidak mampu memahami gejala-gejala ilmiah eksperimental. Mereka itu dipenjara dalam penjara kegelapan, dan betapa dahsyatnya siksa yang menimpa mereka seperti itu.Kelompok kedua, adalah golongan yang disebutkan, “Di antara golongan manusia ada yang berkata, “Kami telah beriman...dst.” yaitu Asyqiya’ kedua. Mereka telah dicabut imannya karena mengaku telah beriman. Padahal tempatnya iman itu di dalam hati, bukan dalam ucapan. Dalam ayat lain disebutkan, “Katakanlah: Kalian belum beriman, namun katakanlah, “Kami telah Islam, dan iman tidak masuk dalam hatinya.”Makna dari ucapan mereka, “Kami telah beriman kepada Allah dan hari akhir...” adalah bentuk pengakuan atas Tauhid dan hari akhir, keduanya merupakan dasar dan prinsip agama. Mereka mengaku bahwa dirinya tidak terhijabi oleh kebenaran.Perlu direnungkan lebih dalam bahwa Kufur itu merupakan penghijaban dan hijab itu sendiri. Bentuk penghijaban itu adakalanya terhijab dari kebenaran sebagaimana menimpa kaum musyrikin, tetapi juga terhijab dari agama, sebagaimana yang menimpa kaum Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani). Orang yang terhijabi dari kebenaran berarti terhijabi dari agama, yang merupakan jalan yang tak bisa diganggu gugat. Orang yang terhijabi dalam memahami agama, tidak tentu, mereka itu terhijabi dari kebenaran. Mereka itu mengaku telah mampu menyingkapkan tirai kebenaran itu, namun mereka sebenarnya dusta karena imannya telah tercerabut dari hatinya.Mereka telah memperdayai diri mereka sendiri dari dua sisi sekaligus. Yaitu menyatakan kebajikan secara lahiriah, tetapi menyimpan kejahatan secara batiniah. Di samping mereka melakukan pengkhianatan terhadap Allah dan Rasul-Nya.Memperdayai Allah dan memperdayai Rasul-Nya adalah suatu kehancuran jiwa yang luar biasa. Di sinilah awal dari kemunafikan yang sangat destruktif bagi setiap manusia. Kalau mereka melakukan atau mengibarkan bendera Islam, bendera iman, bahkan mereka menyatakan dirinya beriman, sementara jiwanya adalah penuh dengan pengkhianatan terhadap agama Allah dan kebenaran itu sendiri, berarti mereka telah membangun suatu rekayasa pembusukan dari dalam.Dalam konteks dewasa ini, fakta-fakta ayat di atas masih tersebar di mana-mana. Banyak pihak yang seringkali mengatasnamakan Islam, mengatasnamakan Allah, bahkan menggunakan simbol-simbol Islam, kenyataannya hati mereka penuh dengan kekufuran, kebusukan dan pengkhianatan.

TAFSIR SURAH AL-BAQARAH AYAT 3-5

Oleh: Syaikh Al-Akbar Muhyiddin Ibn Arabi [Mursyid Thariqah Al-Ahadiyyah]
Mereka yang berbahagia !" Yaitu orang-orang yang beriman dengan ghaib, dan menegakkan shalat, dan dari rizki yang telah Kami berikan, mereka memberikan infaq "" Dan orang-orang yang beriman dengan apa yang telah diturunkan kepadamu dan apa yang telah diturunkan sebelummu, dan mereka itu yakin benar kepada akhirat "" Mereka itulah orang-orang yang diberi petunjuk dari Tuhan mereka dan mereka itulah orang-orang yang mendapatkan kemenangan "Orang-orang yang beriman terhadap yang ghaib dan menegakkan shalat, maksudnya adalah apa yang ghaib dalam keimanan mereka yang bersifat tradisional (at-Taqlidi) dan bersifat ilmiah esensial (at-Tahqiqi al-‘Ilmi). Iman itu pun terbagi dua, Iman Taqlidi dan Iman Ilmi Tahqiqi.Imam Tahqiqy juga dibagi dua: Bersifat Istidlali, yaitu menggunakan pembuktian aksiomatika, dan berikutnya bersifat Kasyfi, yaitu melalui pencerahan jiwa. Kedua-duanya berpijak pada garis pengetahuan dan keghaiban.Iman Taqlidi adalah keyakinan yang kelak disebut dengan Ilmul Yaqin. Sedangkan Iman Ilmi Tahqiqi, disebut penyaksian nyata atas keyakinan tersebut, yang disebut dengan ‘Ainul Yaqin. Sementara yang bersifat Iman Haqqi, adalah Penyaksian Dzat (asy-Syuhud adz-Dzati), yang disebut dengan Haqqul Yaqin.‘Ainul Yaqin dan Haqqul Yaqin, bukan tergolong Iman pada yang ghaib. Iman pada yang ghaib mendorong keharusan pada amal-amal yang bersifat kalbu, yaitu pembersihan jiwa (tazkiyah). Yakni mensucikan hati dari kecenderungan pada kebahagiaan fisik, eksoterikal yang melupakan kebahagiaan abadi.Kebahagiaan itu sendiri ada tiga, bersifat kekalbuan, bersifat kefisikan (jasad), dan uang lingkup seputar badan.Yang bersifat kekalbuan yaitu ma’rifat-ma’rifat dan hikmah, kesempurnaan ilmiyah dan amaliyah serta akhlaq. Sedangkan yang bersifat badaniah (kefisikan) adalah kesehatan dan kekuatan, kenimatan-kenikmatan fisik dan kesenangan-kesenangan alami.Sementara yang berada di ruang lingkup badan adalah harta-harta dan ikhtiar, seperti ucapan Amirul Mu’minin as, “Ingatlah, di antara sebagian nikmat itu adalah kemudahan harta. Yang lebih utama lagi dibanding harta adalah kesehatan badan yang bisa menguatkan jiwa.”Tentu dua nikmat pertama di atas harus dijaga agar terjadi kelangsungan penjagaan pada yang ketiga yang diraihnya, melalui zuhud dan ibadah.Menegakkan shalat adalah meninggalkan urusan badaniah dan kepayahan fisik, yaitu yang disebut sebagai induk ibadah, di mana amaliyah tersebut menjadi prioritas utama dibanding lainnya.Shalat sendiri bisa mencegah perbuatan keji dan mungkar, karena shalat merupakan beban badan dan nafsu, sekaligus menekan pada fisik dan nafsu itu sendiri. Sedangkan menafkahkan harta yang telah diberikan oleh Allah berarti berpaling dari sekadar kebahagiaan eksoteris yang disenangi nafsu, melalui zuhud. Sebab infaq itu kadang-kadang lebih berat ketimbang pencurahan ruh, karena adanya tekanan terhadap sikap kikir.“ Dan dari rizki yang telah Kami berikan kepada mereka, mereka memberikan infaq ”Dengan demikian hati terbiasa untuk meninggalkan sikap berlebihan materi, melalui sikap derma, murah dan memberikan harta berkali-kali., melakukan hibah, sedekah, selain yang wajib, agar mampu menekan sikap kikir tadi.Infaq tersebut dianjurkan pada bentuk sebagian harta, dengan tujuan agar seseorang tidak mengobral hartanya, dengan memberikan yang secukupnya., agar keutamaan sikap derma tadi tidak terhalangi. Sebab derma itu merupakan bagian dari salah satu Akhlak Allah." Dan orang-orang yang beriman terhadap apa yang telah diturunkan kepadamu dan apa yang diturunkan sebelum kamu "Maksudnya adalah Iman Tahqiqi yang terbagi dalam tiga hal di atas, yang bisa mendisiplinkan amal kekalbuan, yaitu berias diri dengan akhlak, menggelar hati melalui hikmah dan pengetahuan yang telah diturunkan dalam kitab-kitab Ilahiyah, di samping ilmu-ilmu yang berhubungan dengan hari akhir dan perkara akhirat, serta hakikat-hakikat ilmu al-Quds. Dan karena itulah Dia berfirman:“ Dan mereka yakin dengan akhirat ”Mereka yang beriman pada akhirat adalah mereka yang tidak melampaui batas penyucian dan tidak sampai pada periasan jiwa yang menjadi buahnya, sebagaimana sabda Nabi saw. “Siapa yang mengamalkan ilmunya, Allah akan mewarisi pengetahuan yang tidak pernah diketahuinya.”Sedangkan Ahlullah yang yakin secara keseluruhan adalah mereka yang senantiasa terbimbing petunjuk Tuhan mereka, kadang tertuju kepada-Nya, kadang pada rumah-Nya, yaitu rumah keselamatan, keanugerahan, pahala dan kelembutan. Merekalah disebut hari kemenangan. Bukan kaklangan lain, seperti kalangan tersiksa atau terhijabi dengan Allah.Allah selanjutnya berfirman: “ Mereka itulah orang-orang yang mendapatkan kemenangan ”

TAFSIR SURAH AL-BAQARAH AYAT 1-2

Oleh: Syaikh Al-Akbar Muhyiddin Ibn Arabi [Mursyid Thariqah Al-Ahadiyyah]

" Alif Itulah Al-Kitab... ""Alif Laam Miim""Itulah Kitab (Al-Qur’an) tiada keraguan di dalamnya, sebagai petunjuk bagi orang-orangyang bertaqwa"Tiga huruf pada “Alif” “Laam”, dan “Mim”, menunjukkan pada seluruh wujud secara universal. Sebab Alif, menunjukkan pada Dzat yang menjadi awal wujud. Sedangkan Laam, menunjukkan pada akal aktual yang disebut lain dengan Jibril, yang lebih luas wujudnya, dimana, kelak melimpah dan awal hingga akhir. Sedangkan Mim, adalah menunjukkan Muhammad yang mempakan akhir wujud yang menyempumakan lingkaran wujud itu sendiri dengan mempertemukan pada awal wujud. Karena itu beliau menegaskan, “Sesungguhnya zaman itu berputar sebagaimana hari dimana Allah mencipta langit dan bumi.”Sebagian ulama salaf mengatakan, bahwa Laam disusun dari dua Alif, yakni, diposisikansebagai “pakaian” Dzat, disertai sifat ilmu yang kedua-duanya mempakan dua alam dan tiga alam ilahi tersebut. Yaitu sebagai salah satu Nama dari Nama-namaAllah Ta’ala, sebab setiap Nama merupakan konotasi dari Dzat dengan Sifat-sifat mana pun.Sedangkan Mim mempakan isyarat pada Dzat dengan seluruh Sifat yang ada, dan menunjukkan Af’al yang tertutupi oleh Sifat dalam rupa Muhammadiyah yang merupakan Nama Allah Yang Agung, yang tidak diketahui kecuali oleh orang yang mengetahuinya.Perlu dimengerti bahwa Mim yang merupakan gambaran Dzat, bagaimana bisa tersembunyi di dalamnya? Di dalam Mim sendiri ada huruf Yaa’, dan di dalam Yaa’ ada Alif dan rahasia di dalam kedudukan huruf hijaiyah, yaitu bahwa tak akan pernah ada huruf melainkan di dalamnya ada Alifnya. Dalam konteks tersebut hampir berekatan dengan penafsiran seorang ulama yang mengatakan, “Artinya adalah bersumpah dengan Nama Allah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. Sebab Jibril adalah manifestasi dan Sifat llmu, sehingga namanya Al-ilmu. Sedangkan Muhammad adalah manifestasi dari Hikmah sehingga namanya Al-Hakim.Dari sanalah kemudian ada yang mengatakan, bahwa di bawah setiap Nama dari Nama-nama Allah Ta’ala ada sejumlah Nama tanpa terhingga. Ilmu itu sendiri tidak akan pernah sempurna dan tidak penuh, kecuali jika disertai dengan tindakan dalam Alam Hikmah,yang merupakan Alam sebab akibat, yang kelak memunculkan hikmah. Karena itu, Islam tidak akan sempurna hanya dengan kalimat Laa Ilaaha Illallah, melainkan harus disertai dengan Muhammadur Rasulullah. “Tidak ada keraguan di dalamnya, sebagaipetunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa. ““Laa Raiba Fiih”, menurut hakikatnya bahwa Al-Qur’an adalah benar. Sedangkan menurut pertimbangan kata, artinya bersama kebenaran, yang merupakan keseluruhan hakiki itu sendiri. Karena Al-Qur’an menjelaskan terhadap Kitab yang dijanjikan pada para Nabi, dan didalam Kitab-kitab mereka itu, bahwa Kitab itu memang mau diturunkan, sebagaimana ucapan Nabi Isa as, “Kami bakal membawa untuk kamu sekalian dengan Kitab yang diturunkan. Sedangkan Takwilnya akan datang bersama Al-Mahdy di akhir zaman.”“Hudan lil Muttaqien”. Maksudnya sebagai petunjuk dalam dirinya, bagi orang-orang yang takut terhadap kehinaan-kehinaan dan hijab yang menghalangi untuk menerima kebenaran di dalamnya.Dari segi akibat perbuatannya, manusia itu terdiri dan tujuh kelompok, karena diantara mereka ada yang masuk kelompok orang-orang yang bahagia dan orang-orang yang celaka, sebagaimana firman Allah swt: “Diantara mereka ada yang bahagia ada pula yang celaka.”Orang-orang yang celaka masuk dalam Ashabusy Syimaal. Sedangkan yang bahagia masukdalamAshabulYamm. Sedangkan As-Saabiquunal Awwaluim, sebagaimana firmanNya: “Dan kamu sekalian adalah berpasang-pasang tiga”.Sementara Ashabusy Syimaal, ada yang terlempar, yaitu mereka yang sudah terpatri oleh ketentuan binasa, yaitu pelaku kedzaliman dan kegelapan, serta terkena hijab secara menyeluruh, yang sudah disejak zaman Azali, seperti dalam firnianNya, “Seseungguhnya Kami telah menyiap-kan neraka Jahanam bagi banyak manusia dan jin.”Dalam hadits Rabbany, disebutkan, “Mereka Kujadikan untuk menghuni neraka, dan Aku tidak peduli.”Narnun diantara kelompok ini ada golongan munafik yang sebenarnya masih ada peluang menerima pencerahan cahaya menurut fitrah dan semangat hati.Orang-orang yang bertaqwa dimaksud dalam ayat tersebut adalah mereka yang secara lahir maupun batin menjalankan esensi ketaqwaannya. Dalam ayat lain misalnya disebutkan “Ittaqullah fis Sirr wal-‘Alan” (Takwalah kepada Allah dalam dzahir dan sirr batin anda).Posisi Sirr adalah kedalaman batin yang merupakan puncak dan rasa ubudiyah. Sirr itulah yang merupakan rahasia ruh, dimana posisinya di atas ruh.Ketaqwaan yang dalam itu berarti sirnanya hijab antara hamba dengan Allah, sementara sang hamba tidak mengabaikan sama sekali perintah-perintah syari’at yang merupakan ibadah atau praktek ketakwaan dzahir.